Jumat, 21 Oktober 2011

Motivatorku


 Randa bernyanyi di atas panggung itu, sang artis SDIT sekarang sudah populer di SMP 01 Curup Kota. Ingin rasanya aku menangis, sepertinya benar ustadz Pian membenciku. Tadinya aku terlampau senang, karena sms itu, aku membacanya berkali-kali, kukira aku memenangkan lomba itu, ternyata tidak. Seperti ditipu, hatiku sakit sekali, aku bisa menahan air mataku disana, Randa masih saja menyanyi, aku menghampiri Rizka, wajahnya tampak murung.
“Hai, Riz, ada apa??”
“Aku kalah……..”
“Piala itu………” aku menunjuk sebuah piala, bertuliskan ‘Juara 1 Lomba Olimpiade IPA’
“Ini punya kak Yais……..” Rizka menjawab lesu, aku tersenyum dan setengah berlari ke arah ayahku. Dari wajah dan sikapku, aku terlihat gembira dan semangat, tapi tak dihatiku. Kebetulan, ada beberapa teman ayahku disana, mereka sedikit bertanya tentangku, dan Alhamdulillah, mendapat beberapa pujian, walau begitu hatiku masih tetap murung, tak bisa tersenyum. Aku ingin pulang, ingin menuntaskan kesedihan hatiku. Melihat Randa yang akan bernyanyi kembali, aku mengatakan kepada ayah bahwa aku ingin mendengar suara Randa. Sedang asyik menikmati lagu yang dibawakan Randa, Izzah dan Rizka mengahampiriku.
“Kasihan banget ustadz Pian……..”
“Emang kenapa dia?”
“Ustadz udah bilang, Randa jangan suka nyanyiin lagu pop, tapi masih aja dilawan……..”
“Ya, terserah Randa dong, Randa juga cocok nyanyi gitu, udah keren, cakep, suaranya bagus…….” Ujarku sambil mengerutkan dahi, kulihat ustadz Pian menuju ke arah kami, aku segera berbalik dan berteriak kepada Izzah dan Rizka.
“Aku duluan…..” mereka saling pandang, tak mengerti. Aku segera mengajak ayah pulang. Ketika sampai di tempat parkir, ayah tersenyum dan bertanya padaku.
“Ada ustadz Pian terus pergi, gitu yah?” aku hanya tersenyum, sampai di rumah aku mengganti baju dan mulai membantu ibuku. Hatiku masih sedih, aku berusaha menghibur dengan mengkhayal, tapi itu malah menambah kesedihan. Aku bernyanyi, tapi tetap seperti itulah. Aku tak dapat menyembunyikan kesedihanku dari ayah dan ibu, mereka mengetahui betul sifatku, air mataku kembali mengalir, aku mengusap air bening itu.
“Sudahlah, memang bukan rezeki Icha…….”
“Kalo itu tidak mengapa bu……..” mataku mulai berkaca-kaca kembali
“Icha sudah biasa kalah bu…….” Lanjutku lagi, air mataku kembali membanjir, susahnya menenangkan hatiku.
“kok nangis terus??”
“Ustadz kok mau nipu Icha? Itu yang bikin Icha sedih, kok ngebohongin Icha, Icha tau udah sering Icha kalah mewakili sekolah, tapi masa harus dibohongin Ichanya?”
“Ustadz bukan ingin ngebohongin Icha, tapi pengen Icha lebih semangat karena melihat teman lain menang……” aku diam dan memasuki kamar, mulai menulis diary, tempatku mencurahkan isi hatiku, aku yakin akan mengurangi rasa sedihku walau sedikit. Matahari sudah mulai tenggelam, langit kemerah-merahan, indah sekali rasanya. Aku merogoh kantong celanaku, mengambil hp dan mulai menyusun kata, mengirim pesan itu untuk sahabatku Intan. Langit menghitam, bulan bagai lampu yang menyinari ruang gelap, memberi sedikit cahaya, aku terlelap, memimpikan sesuatu yang indah, indah sekali.

“Cuma itu? Secepat itu kamu marah Cha?” seru Rizka padaku, sudah kuduga ini bukan ide yang baik.
“nggak marah, Cuma kesel aja dibohongin……” aku tersenyum, berharap Rizka tak besar mulut, menyampaikannya pada ustadz. Rizka menatapku aneh dan berlalu. Aku memainkan pensil biru itu, menatap ke arah langit-langit kelas, teriakan teman-teman sekelasku terdengar hingga perpustakaan. Seperti sudah tradisi saja, setiap pelajaran kosong, mereka akan bermain, sekarang pelajaran TIK, ustadz Pian belum juga menjejakkan kakinya di kelas ini. aku tak terlalu memperdulikannya hatiku masih kesal dengan ustadz. Afif, pasti sebentar lagi namanya akan terdengar, kemarin Afif tidak datang mengambil hadiah. Benar saja! Terdengar suara ustadz dari kantor memanggil Afif, aku hanya menatap langit-langit kelas berharap setelah ini akulah sang juara. aku berjalan menyusuri gang menuju rumahku, wajahku menunduk, memikirkan lomba itu.
“Bukankah aku telah mengikutinya dua kali?Ttapi kenapa aku belum memenangkan lomba itu hingga kini? Bukankah aku telah akrab dengan komputer sejak kecil?”  berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Saat sampai di rumah, aku membuka seragam sekolah, menggantinya dengan pakaian bermain, duduk di kursi teras dan mulai memandang langit, pikiranku kembali ke peristiwa kemarin, di hatiku masih terselinap kekesalan yang sangat dalam.

Pagi hari ini, aku belum dapat melupakan kejadian itu, kakiku seperti tak ingin berjalan ke sekolah. Aku berjalan memasuki kelas, perlahan tapi, pasti nyampe. Setelah itu barulah aku keluar, tapi tak mengikuti iftitah. Aku memandang sekitar, berharap ada yang bisa membuatku kembali semangat.
“Icha……” panggil Hafidz mengagetkanku, aku terlalu asyik melihat adik kelasku. Aku menoleh dan tersenyum padanya.
“Ada apa??”
“Ikuti iftitah……” seru Hafidz sambil berlalu, aku tak memperdulikannya, hingga iftitah selesai, aku berjalan lesu, masuk kedalam kelas. Ustadz Fendi memasuki kelas dan mulai mengajar, memberikan tugas, dan duduk menunggu. Satu persatu soal sudah kukerjakan, aku memberikannya kedepan.
“Sudah Nisa??” Tanya ustadz, aku mengangguk pelan. Dan kembali ke tempat dudukku. Aku mengambil dua lembar kertas kosong, dan mencoret-coret kertas itu hingga menjadi sangat kotor, aku ingin pulang. Di sekolah aku tak akan dapat melupakan kejadian itu, setiap memasuki perpus, aku akan melihat piala Afif. Ketika istirahat tiba, aku segera keluar, duduk di teras lokal sambil menjilati es yang baru kubeli, kulihat ustadz Fendi pergi bersama Aziza dan Randa, pasti mereka akan mengikuti lomba, aku selalu sedih ketika melihat piala-piala berbaris rapi di lemari kantor, tapi tak satupun piala itu hasil kemenanganku.
“Hey…..” Intan memegang pundakku
“Kenapa?” tanyaku santai
“Jangan melamun, ohya, udah dibuat belum??”
“nggak kok, siapa yang melamun? Apa yang udah?”
“Ceritanya, cerpen untuk ustadz Fendi??”
“Ntahlah…..” aku menjawab sambil berlalu, Intan menatapku aneh, tak mengerti apa yang terjadi denganku.  Sampai di rumah, aku kembali mengambil diaryku, mencoret lembar kosong yang masih tersisa, habis lembar kosong itu, aku membuka lembar sebelumnya. Membaca ulang kembali apa yang kurasakan selama ini. kebanyakan isi diaryku adalah kekalahan, tapi aku santai saja menghadapinya saat itu. Aku ingat saat pertama kali aku mengikuti lomba TIK, ibu terus menyemangatiku agar tidak putus asa.
“Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita, walau jelek di mata manusia, InsyAllah kita bagus di mata Allah…..” Dan saat aku kalah mengikuti lomba Tahfidz.
“Itu artinya hafalan Icha belum lebih bagus dari anak sd lain, perhatikan makhroj huruf dan tajwidnya bila menghafal……” Saat aku kalah lomba pada saat milad sekolahku.
“Tidak perlu bersedih, ntar siapa yang menang saat ini akan melihat Icha menang tahun depan……” Saat try outku jauh dari sepuluh besar dan saat aku memandang kebawah bukan ke atas.
“Walaupun Izzah di bawah Icha tapi jangan terlena, kalo Icha terus melihat kebawah, bisa-bisa Icha menetap disana atau malah turun. Tapi, kalo Icha melihat keatas, InsyaAllah nilai Icha langsung loncat jadi nomor satu…..” Dan kemarin saat aku menangis menyesali kekalahanku.
“Menang kalah itu hanya pandangan manusia, Icha sudah mengikuti saja Icha sudah luar biasa, luar biasa dari semua yang batal mengikuti lomba itu dan keuntungan terakhir Icha mendapatkan ilmu……” aku tersenyum mengingat semua nasihat ibu, lembut tutur ibu dalam menasihatiku, bagiku. Ibu lebih dari seorang Mario Teguh yang terkenal sebagai motivator hebat, ibu lebih dari seorang Andrie Wongso yang sering dijuluki motivator nomor satu di Indonesia. Mulai sekarang aku akan bangkit! Aku pasti bisa mengukir senyum indah di wajah cantik ibuku! Sekarang, kuputuskan tak ada lagi kata putus asa! Aku akan bangkit dari ketidak percayaan dan sekarang, aku akan keluar dari lubang kekalahan yang gelap gulita tanpa cahaya kemenangan dan kepercayaan! Terimakasih ibu, engkaulah motivatorku.

Minggu, 09 Oktober 2011

Surat Untuk Bunda

Maaf Nanda Bunda......







Bunda.....
Hari ini nanda curahkan isi hati nanda tentang bunda lewat untaian kata ini......
Bunda, mungkin bunda sudah bosan melihat wajah nanda  karena kenakalan, kemalasan & kecerobohan nanda......
Bunda, nanda tak pernah bermaksud jahat pada bunda....
Tak pernah terbesit di pikiran nanda, Bunda Jahat...... 
Nanda tak ingin bunda pergi dari rumah ini, maaf atas kelakuan nanda yang selalu membuat bunda menitikkan air mata......
Bunda, maafkan nanda jika kata-kata nanda seringkali membuat bunda sedih dan kecewa......
Bunda, maaf jika nanda tak pernah bisa membanggakan bunda.....
Bunda, maaf jika nanda tak bisa meraih prestasi seperti yang bunda inginkan......
Bunda, maaf jika nanda selalu membuat bunda kecewa.....
Membuat bunda menjadi tak ingin menceritakan nanda pada satu orangpun.....
Bunda, izinkan nanda melihat senyum bunda.....
izinkan nanda mengusap airmata bunda......
izinkan nanda mengukir sebuah senyum kebanggaan di wajah bunda.......
kata maaf dan terimakasih tak akan berhenti nanda ucapkan.....
bunda harus tau, betapa nanda mencintai bunda.....
betapa besarnya rasa bersalah nanda pada bunda......
bunda, maafkan nanda yang tak bisa menjadi seperti yang bunda inginkan......
maafkan nanda yang belum membuat bunda bahagia atas kehadiran nanda........ 



Bukan Berarti Kalah

“Dear diary, hari ini Icha lomba lagi, hari ini Icha akan menghadapi tantangan lagi. Diary, terimakasih ya udah mau denger  semua pengalaman lomba Icha, Icha tidak tahu apakah besok Icha akan berdiri di atas panggung itu? hanya Allah yang tahu. Icha hanya bisa berusaha……..” Icha menutup diary kecilnya, diary kuning yang dibelinya bersama Dilla, salah seorang temannya. Icha mempunyai dua diary, yang satu lagi bergambar Mickey Mouse, tempatnya mencurahkan semua keesalannya terhadap teman sekelasnya. 


 Icha meletakkan diary itu di bawah kasurnya dan beranjak dari kamarnya, mandi lalu bersiap untuk pergi ke lokasi perlombaan. Setelah berjam-jam pembukaan, Icha duduk di depan ruang lab komputer, jantungnya berdegup kencang. Perlombaandimulai, Arif, Naufal, dan Ainul. Memasuki lab komputer. Sedangkan Icha, Fadhel, Afif, dan Fathur duduk manis menunggu giliran mereka di gelombang 2 dan 3.
“Afif, coba lihat catatannya………..” Ujar Icha pada Afif yang sedang membaca ulang latihan kemarin, Afif memberikan catatan itu, Icha menghafalnya kembali, dia rasa seperti inilah soal yang akan keluar, tahun kemarin Icha juga sempat mengikuti lomba ini. Dia masih ingat semua kejadian sebelum, saat, dan setelah lomba, walau sudah setahun yang lalu. Setiap peristiwa lomba yang diikutinya, selalu diingatnya. Mungkin itulah pengalaman yang paling berkesan untuknya, yang menjadikan dia semakin semangat mengikuti berbagai macam lomba adalah kekalahan. Icha seorang yang tidak mudah putus asa, dia akan memberikan yang terbaik untuk semua, kalaupun kalah, dia akan mencobanya kembali. Saat Icha sedang asyik membaca ulang kembali latihan kemarin, Hafidz mengagetkannya, sahabat Icha sejak kelas 4.
“Icha, belum mulai ya??”
“Hah? Apa? Oh, belum Fidz, aku gelombang tiga, sekarang masih gelombang pertama……”
“Lama ya? Mana ustadz Pian??”
“Nggak tahu juga tuh, dari tadi aku sms nggak bales, kalo ditelfon baru bisa dihubungin, isyarat pesannya kekecilan kali ya?? Kamu sudah Fidz?? ”
“Ya, betul…… betul…… betul…….”
“Final masuk nggak??”
“Wuuih, tentu masulah, Hafidz gitu lho!”
“Ya, sudah, latihan lagi sana, bareng Izzah atau Dioz……..”
“Bye……..” Hafidz berlalu pergi, dia tersenyum kecil melihat sahabatnya yang super lucu itu. gelombang satu selesai, Ainul keluar dari lab komputer dan mencari Icha, menyampaikan sebuah berita penting, kelihatannya.
“Icha, drawing toolbarnya kok nggak ada??”
“Ya, mana tau aku, aku bukan petugasnya, aku peserta……..”
“Beneran nggak ada Icha…….”
“Yang dipake office dua ribu tiga atau dua ribu tujuh??”
“Dua ribu tiga…..”
“Gimana ya? Kalo office dua ribu tiga aku udah banyak lupa, latihan maren makenya dua ribu tujuh…..”
“Ya sudah, sms ustadz aja…..” Afif mengagetkan Icha dan Ainul.
“Oh, ya……” Seru Fadhel dan Fathur.
“Cepat sms Cha, sebelum gelombang tiga dimulai…….”
Icha berlari ke belakang kantin, kebetulan ada Dioz disana dengan heran ia bertanya pada Icha.
“Icha, ada apa? Kok kayaknya penting banget gitu?”
“Gawat, Yoz, aku sms ustadz dulu…….”
“Ehm, Icha dah berani nih deket ama ustadz lagi, nggak takut diejek lagi??”
Dioz jahil mengganggu Icha, Icha tak memperdulikannya, lama ICha menunggu balasan dari ustadz. Gelombang ke 2, sudah memasuki lab komputer, Dioz masih makan mie di kantin, final lomba scrabble dimulai 2 jam lagi.
“Icha, telfon aja ustadz, gelombang kedua udah masuk…….”
“Telfon? Kamu ada pulsa yoz??”
“Lah, emang kamu nggak ada pulsa??”
“Ada sih, tapi……”
“Ah, banyak omong, telfon aja sekarang…….” Icha mengangguk, menekan tombol dan menelfon ustadz.
“Halo, Assalamu’alaikum?”
“Ustadz, temen yang lain pada nanyain Icha, Icha nanya ke Afif dia juga nggak tahu, Icha kebanyakan udah lupa office dua ribu tiga……”
“SekarangIcha dimana? Lombanya sudah??”
“Di RSBI tadz, belum, Icha gelombang tiga…..”
“Afif gimana? Udah belum??”
“Afif, bareng Icha, ustadz dimana sekarang? Kok nggak ngawas dari pagi??”
“Ustadz kuliah nak, nanti ustadz kesana tapi Cuma sebentar, itu juga kalo dapet izin….”
“Iya tadz, iya…..”
“Ya, sudah, Assalamu’alaikum……”
“Wa’alikumsalam……” Icha setengah berlari kea rah Fadhel, Fathur dan Afif, tersenyum dan memberitahu mereka bahwa ustadz akan datang. Sekarang pukul 12.05, itu artinya sudah saatnya sholat Dzuhur, tapi, adzan belum juga terdengar. Saat mereka seang menunggu adzan Dzuhur dekaligus giliran, saat itulah ustadz datang dengan membawa tas hitam.
“Icha…..” panggil ustadz, Icha menoleh dan setengah berlari kea rah ustadz, Afif, Naufal, Fathur dan Ainul. Semua peserta lomba TIK dari SDIT cepat menggerumuni ustadz, Ima menyikut Icha dan tersenyum sambil melirik ustadz Pian.
“Apa sih??” Icha sedikit kesal dengan ulah teman sekelasnya, bahkan akhir-akhir ini, anak kelas B, ikut-ikutan mengganggunya jika bertanya pada ustadz. Entah apa alasan mereka, yang jelas ulah mereka membuat Icha semakin malas bertanya pada ustadz. Dia hanya berani bertanya pada ustadz secara tidak langsung. Setelah bertanya banyak hal mengenai lomba, mereka duduk kembali di kursi yang telah disediakan. Ustadz menyapa alumni SDIT yang bersekolah disana, sementara Icha dan teman-temannya asyik bercanda, apapun akan jadi bahan tertawaan mereka. Sedikit haus, Icha berjalan ke kantin untuk membeli minum, tanpa sengaja, ia mendengar sedikit percakapan antara ustadz dan salah seorang alumni SDIT.
“Kalo mereka bingung, bantu aja murid ustadz ini ya…..”
“InsyaAllah ustadz, kami juga nggak tugas ngawas lomba TIK…..” mendengar itu, Icha tertawa lucu, sambil meminum teh dingin yang baru saja dibelinya.  Icha menatap taman RSBI yang tertata rapi, ia melihat ke sebuah kandang dekat kolam RSBI, hewan yang disebut ayam. Sudah biasa kulihat, tapi yang ini sangat unik, tuguhnya kecil dan pendek.
“Dek Icha……” suara seseorang  mengagetkan Icha, ia  berusaha mencari asal suara itu, kulihat seorang laki-laki tinggi, berjaket hitam, berkulit putih, hidung mancung dan memakai kacamata. Orang itu tersenyum,  Icha membalas senyumnya dan berusaha mengingat siapa dia.
“Oh, bang Rian…….” Seru Icha mengagetkan Ainul,Icha tertawa melihatnya.
“Ustadz kuliah dulu ya……” ustadz berujar pada mereka
“Iya ustadz…..” balas Ainul dan Fathur berserempak.
“Titi Dj tadz…..” seru Afif dari belakang.
“Hati-hati di jalan tadz…..” Icha menyambung, ustadz tersenyum dan berlalu pergi. Tak lama, sekarang saatnya kelompok Icha mengerjakan tugas lomba, tangan Icha mulai gemetaran, ia gugup. Satu persatu soal dikerjakannya, belum ada peserta yang selesai. Keahliannya mengetik membuat waktu yang dibutuhkan olehnya tak begitu lama.
“Bismillah……” gumamnya.
“Kak, sudah……” ujarnya pasa seorang pengawas yang juga alumni SDIT.
“Tanda tangan disini dan boleh keluar, pengumuman bersok……” pengawas itu memberikan selembar kertas hps dan sebuah pena. Icha menulis namanya dan menanda tanganinya. Icha keluar dari lab komputer, sudah sedikit lega. Sampai di rumah, sudah pukul 05.00 Icha membuka buku TIK dan berusaha mengingat yang ia kerjakan tadi, ia tersenyum dan saat jarum jam menunjukkan pukul 09.00, Icha memasuki kamarnya. Saat hendak menutup matanya, hpnya bordering, sebuah sms masuk.
“Bagaimana lombanya Icha? ” pesan dari ustad Pian, setelah membaca Icha membalasnya.
“Alhamdulillah ustadz, yang belum selesai hanya Naufal dan Ainul, yang lain Alhamdulillah selesai……” Icha mengirim pesan itu lalu memejamkan matanya. Seperti biasa, pagi hari Icha bersiap untuk ke sekolah, sampai di sekolah ia akan duduk manis di kelas sambil bercerita. Iftitah dan pelajaran dimulai. Hari ini hari kamis, itu artinya, hari inipun pulang pukul 04.00. hari ini Icha lebih banyak diam, Icha juga tak banyak bermain. Tapi, saat di perjalanan pulang wajahnya tak lepas dari senyuman.
“Icha, ajak Afif kls 6 ke RSBI skrng…..” seperti itulah sms ustadz Pian yang membuat Icha GR. Dia sudah senang, sangat senang. Ia menduga bahwa ia memenangkan lomba itu, tapi Allah maha tahu segala yang baik untuknya. Begitu sampai di rumah, Icha langsung ke RSBI tanpa mengganti baju, ia hanya meletakkan tas, ia berlari kea rah Rizka tersenyum dan bertanya.
“Apa aku menang??” Rizka hanya menggeleng, wajahnya cemberut.
“Terus??”
“Afif yang menang, awalnya aku juga kaget nggak percaya, padahal Icha pintar yang namanya komputer…..” wajah Icha berubah murung, ia sedih karena ternyata ia gagal. Berusaha menahan air mata yang sejak tadi bertengger di pelupuk matanya, Icha bertanya kembali pada Rizka.
“Kamu?”
“Tidak, ini milik kak Yais….”
“Terus?”
“Aku hanya menemani Izzah……” aku berlari kea rah ayahku, menunggu sebentar dan buru-buru pulang. Di rumah, Ayah dan Ibunya tak henti menghibur dan menyemangati Icha.
“Kemenangan bukan segelanya……..”
Air mata Icha tak bisa terhenti. Di sekolah, ustadz dan ustadzahpun menyemangatinya. Tapi, tidak temannya, mereka terus mengejek Icha.
“Ustadz izin hanya untuk kalian, bersyukur……”
“Iya, aku aja yang lebih penting dari TIK nggak diperhatiin bener…..” entah apa lagi kata-kata tajam yang terlontar dari mulut temannya, membuat Icha sedih dan sakit sekali. Dari semua itu, kata yang paling sering didengarnya dari motivatornya yang luar biasa adalah kata sederhana penuh arti.
“Kita kalah, bukan berarti kalah sepenuhnya, tapi kita kalah untuk menang, menang berani tampil, menang dapat ilmu, dan banyak lagi yang menyebabkan kita menang dari orang lain, Allah tak akan membiarkan hambanya menangis Cha, yang penting kita sudah berusaha…….”


Rabu, 05 Oktober 2011

Cinta Hani Untuk Allah

                Sehari setelah perkenalan itu, Hani makin dekat saja denganku. Aku sangat menyayangi Hani. Hani anak yang baik, tapi aku tidak tahu bagaimana Islam Hani. Saat itu, aku sedang bersama Yayas dan Mia. Dua adik sepupuku ini sangat manja sekali, dimana saja.
“Kak, Mia tadi di kelas buat surat untuk Tika……” Yayas berujar padaku.
“Iya? Surat apa?” aku bertanya pada Yayas, sambil sedikit melirik Mia.
“Suraat…….” Mia segera merogoh tasnya, mengambil sebuah amplop putih. Tiba-tiba Hani datang, ia duduk di pangkuanku, kedekatanku dengan Hani terkadang membuat dua adik sepupuku ini protes. Aku memeluk Hani sejenak, mengambil amplop surat Mia dan mulai membaca.
“Tika suka sama Osa?” tanyaku pada Mia sambil menutup kembal amplop itu. 


Mia mengangguk pelan, Yayas hanya tersenyum jahil pada Mia. Hani dari tadi hanya menatap lagit biru yang luas.
“Rifky udah punya pacar dirumahnya Yas, hati-hati aja……” Mia tersenyum, sifat jahilnya kambuh.
“Iya, itu pacarnya, si Yayas…….” Aku menunjuk Yayas.
“Bukan kak, ada pacarnya Rifky dirumah, Yayas juga tahu…..” Yayas menyahut.
“Playboy dong??”  aku tersenyum
“Ih, Osa juga kok……..” Yayas tak mau kalah.
“Osa  juga??” tanyaku pada Mia, aku heran dua adikku ini sudah punya pacar semua, mereka masih terlalu kecil.
“Iya, bener kata Yayas…..”
“Kok masih mau??” Yayas dan Mia hanya tersenyum kecil, bel istirahat belum berbunyi. Itu artinya, aku bisa menemani mereka hingga dijemput. Aku bercakap sedikit tentang Rifky dan Osa, Mia dan Yayas yang sok tahu, menjawab seenaknya. tak lama, datanglah Dadan menjemput Yayas dan Mia. Sejenak tempat itu hening, aku dan Hani sama menatap langut biru. Memecah kesunyian, aku bertanya pada Hani iseng.
“Udah punya pacar belom Hani??”
“Nggak punya……”
“Suka sama siapa?”
“Nggak ada……”
“Sayang??”
“Nggak juga……”
“Ini aja deh, Hani cinta ama siapa hayoo??”
“Hani nggak cinta sama siapa-siapa kak, cinta Hani hanya satu dan hanya untuk Allah…….” Jawaban Hani membuatku terdiam, aku membelai kepalanya lembut dan tersenyum. Aku bangga dengan jawaban Hani, Hani tak seperti teman-temannya yang sibuk dengan urusan pacar, aku bangga dengan Hani, aku bangga bisa dekat dengan Hani. Cinta Hani hanyalah untuk Allah. Hanya satu, untuk Allah.  Jawaban yang jarang sekali didapatkan dari seorang anak orang kaya yang tak begitu memperdulikan agama. Jawaban yang jarang sekali dipikirkan oleh seorang anak kelas satu!


Kisah Nyata Yang Kualami, Jawaban Nyata Yang Kudengar Dari Seorang Hani, Anak kelas Satu A, Angkatan Ke 9

Jumat, 21 Oktober 2011

Motivatorku


 Randa bernyanyi di atas panggung itu, sang artis SDIT sekarang sudah populer di SMP 01 Curup Kota. Ingin rasanya aku menangis, sepertinya benar ustadz Pian membenciku. Tadinya aku terlampau senang, karena sms itu, aku membacanya berkali-kali, kukira aku memenangkan lomba itu, ternyata tidak. Seperti ditipu, hatiku sakit sekali, aku bisa menahan air mataku disana, Randa masih saja menyanyi, aku menghampiri Rizka, wajahnya tampak murung.
“Hai, Riz, ada apa??”
“Aku kalah……..”
“Piala itu………” aku menunjuk sebuah piala, bertuliskan ‘Juara 1 Lomba Olimpiade IPA’
“Ini punya kak Yais……..” Rizka menjawab lesu, aku tersenyum dan setengah berlari ke arah ayahku. Dari wajah dan sikapku, aku terlihat gembira dan semangat, tapi tak dihatiku. Kebetulan, ada beberapa teman ayahku disana, mereka sedikit bertanya tentangku, dan Alhamdulillah, mendapat beberapa pujian, walau begitu hatiku masih tetap murung, tak bisa tersenyum. Aku ingin pulang, ingin menuntaskan kesedihan hatiku. Melihat Randa yang akan bernyanyi kembali, aku mengatakan kepada ayah bahwa aku ingin mendengar suara Randa. Sedang asyik menikmati lagu yang dibawakan Randa, Izzah dan Rizka mengahampiriku.
“Kasihan banget ustadz Pian……..”
“Emang kenapa dia?”
“Ustadz udah bilang, Randa jangan suka nyanyiin lagu pop, tapi masih aja dilawan……..”
“Ya, terserah Randa dong, Randa juga cocok nyanyi gitu, udah keren, cakep, suaranya bagus…….” Ujarku sambil mengerutkan dahi, kulihat ustadz Pian menuju ke arah kami, aku segera berbalik dan berteriak kepada Izzah dan Rizka.
“Aku duluan…..” mereka saling pandang, tak mengerti. Aku segera mengajak ayah pulang. Ketika sampai di tempat parkir, ayah tersenyum dan bertanya padaku.
“Ada ustadz Pian terus pergi, gitu yah?” aku hanya tersenyum, sampai di rumah aku mengganti baju dan mulai membantu ibuku. Hatiku masih sedih, aku berusaha menghibur dengan mengkhayal, tapi itu malah menambah kesedihan. Aku bernyanyi, tapi tetap seperti itulah. Aku tak dapat menyembunyikan kesedihanku dari ayah dan ibu, mereka mengetahui betul sifatku, air mataku kembali mengalir, aku mengusap air bening itu.
“Sudahlah, memang bukan rezeki Icha…….”
“Kalo itu tidak mengapa bu……..” mataku mulai berkaca-kaca kembali
“Icha sudah biasa kalah bu…….” Lanjutku lagi, air mataku kembali membanjir, susahnya menenangkan hatiku.
“kok nangis terus??”
“Ustadz kok mau nipu Icha? Itu yang bikin Icha sedih, kok ngebohongin Icha, Icha tau udah sering Icha kalah mewakili sekolah, tapi masa harus dibohongin Ichanya?”
“Ustadz bukan ingin ngebohongin Icha, tapi pengen Icha lebih semangat karena melihat teman lain menang……” aku diam dan memasuki kamar, mulai menulis diary, tempatku mencurahkan isi hatiku, aku yakin akan mengurangi rasa sedihku walau sedikit. Matahari sudah mulai tenggelam, langit kemerah-merahan, indah sekali rasanya. Aku merogoh kantong celanaku, mengambil hp dan mulai menyusun kata, mengirim pesan itu untuk sahabatku Intan. Langit menghitam, bulan bagai lampu yang menyinari ruang gelap, memberi sedikit cahaya, aku terlelap, memimpikan sesuatu yang indah, indah sekali.

“Cuma itu? Secepat itu kamu marah Cha?” seru Rizka padaku, sudah kuduga ini bukan ide yang baik.
“nggak marah, Cuma kesel aja dibohongin……” aku tersenyum, berharap Rizka tak besar mulut, menyampaikannya pada ustadz. Rizka menatapku aneh dan berlalu. Aku memainkan pensil biru itu, menatap ke arah langit-langit kelas, teriakan teman-teman sekelasku terdengar hingga perpustakaan. Seperti sudah tradisi saja, setiap pelajaran kosong, mereka akan bermain, sekarang pelajaran TIK, ustadz Pian belum juga menjejakkan kakinya di kelas ini. aku tak terlalu memperdulikannya hatiku masih kesal dengan ustadz. Afif, pasti sebentar lagi namanya akan terdengar, kemarin Afif tidak datang mengambil hadiah. Benar saja! Terdengar suara ustadz dari kantor memanggil Afif, aku hanya menatap langit-langit kelas berharap setelah ini akulah sang juara. aku berjalan menyusuri gang menuju rumahku, wajahku menunduk, memikirkan lomba itu.
“Bukankah aku telah mengikutinya dua kali?Ttapi kenapa aku belum memenangkan lomba itu hingga kini? Bukankah aku telah akrab dengan komputer sejak kecil?”  berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Saat sampai di rumah, aku membuka seragam sekolah, menggantinya dengan pakaian bermain, duduk di kursi teras dan mulai memandang langit, pikiranku kembali ke peristiwa kemarin, di hatiku masih terselinap kekesalan yang sangat dalam.

Pagi hari ini, aku belum dapat melupakan kejadian itu, kakiku seperti tak ingin berjalan ke sekolah. Aku berjalan memasuki kelas, perlahan tapi, pasti nyampe. Setelah itu barulah aku keluar, tapi tak mengikuti iftitah. Aku memandang sekitar, berharap ada yang bisa membuatku kembali semangat.
“Icha……” panggil Hafidz mengagetkanku, aku terlalu asyik melihat adik kelasku. Aku menoleh dan tersenyum padanya.
“Ada apa??”
“Ikuti iftitah……” seru Hafidz sambil berlalu, aku tak memperdulikannya, hingga iftitah selesai, aku berjalan lesu, masuk kedalam kelas. Ustadz Fendi memasuki kelas dan mulai mengajar, memberikan tugas, dan duduk menunggu. Satu persatu soal sudah kukerjakan, aku memberikannya kedepan.
“Sudah Nisa??” Tanya ustadz, aku mengangguk pelan. Dan kembali ke tempat dudukku. Aku mengambil dua lembar kertas kosong, dan mencoret-coret kertas itu hingga menjadi sangat kotor, aku ingin pulang. Di sekolah aku tak akan dapat melupakan kejadian itu, setiap memasuki perpus, aku akan melihat piala Afif. Ketika istirahat tiba, aku segera keluar, duduk di teras lokal sambil menjilati es yang baru kubeli, kulihat ustadz Fendi pergi bersama Aziza dan Randa, pasti mereka akan mengikuti lomba, aku selalu sedih ketika melihat piala-piala berbaris rapi di lemari kantor, tapi tak satupun piala itu hasil kemenanganku.
“Hey…..” Intan memegang pundakku
“Kenapa?” tanyaku santai
“Jangan melamun, ohya, udah dibuat belum??”
“nggak kok, siapa yang melamun? Apa yang udah?”
“Ceritanya, cerpen untuk ustadz Fendi??”
“Ntahlah…..” aku menjawab sambil berlalu, Intan menatapku aneh, tak mengerti apa yang terjadi denganku.  Sampai di rumah, aku kembali mengambil diaryku, mencoret lembar kosong yang masih tersisa, habis lembar kosong itu, aku membuka lembar sebelumnya. Membaca ulang kembali apa yang kurasakan selama ini. kebanyakan isi diaryku adalah kekalahan, tapi aku santai saja menghadapinya saat itu. Aku ingat saat pertama kali aku mengikuti lomba TIK, ibu terus menyemangatiku agar tidak putus asa.
“Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita, walau jelek di mata manusia, InsyAllah kita bagus di mata Allah…..” Dan saat aku kalah mengikuti lomba Tahfidz.
“Itu artinya hafalan Icha belum lebih bagus dari anak sd lain, perhatikan makhroj huruf dan tajwidnya bila menghafal……” Saat aku kalah lomba pada saat milad sekolahku.
“Tidak perlu bersedih, ntar siapa yang menang saat ini akan melihat Icha menang tahun depan……” Saat try outku jauh dari sepuluh besar dan saat aku memandang kebawah bukan ke atas.
“Walaupun Izzah di bawah Icha tapi jangan terlena, kalo Icha terus melihat kebawah, bisa-bisa Icha menetap disana atau malah turun. Tapi, kalo Icha melihat keatas, InsyaAllah nilai Icha langsung loncat jadi nomor satu…..” Dan kemarin saat aku menangis menyesali kekalahanku.
“Menang kalah itu hanya pandangan manusia, Icha sudah mengikuti saja Icha sudah luar biasa, luar biasa dari semua yang batal mengikuti lomba itu dan keuntungan terakhir Icha mendapatkan ilmu……” aku tersenyum mengingat semua nasihat ibu, lembut tutur ibu dalam menasihatiku, bagiku. Ibu lebih dari seorang Mario Teguh yang terkenal sebagai motivator hebat, ibu lebih dari seorang Andrie Wongso yang sering dijuluki motivator nomor satu di Indonesia. Mulai sekarang aku akan bangkit! Aku pasti bisa mengukir senyum indah di wajah cantik ibuku! Sekarang, kuputuskan tak ada lagi kata putus asa! Aku akan bangkit dari ketidak percayaan dan sekarang, aku akan keluar dari lubang kekalahan yang gelap gulita tanpa cahaya kemenangan dan kepercayaan! Terimakasih ibu, engkaulah motivatorku.

Minggu, 09 Oktober 2011

Surat Untuk Bunda

Maaf Nanda Bunda......







Bunda.....
Hari ini nanda curahkan isi hati nanda tentang bunda lewat untaian kata ini......
Bunda, mungkin bunda sudah bosan melihat wajah nanda  karena kenakalan, kemalasan & kecerobohan nanda......
Bunda, nanda tak pernah bermaksud jahat pada bunda....
Tak pernah terbesit di pikiran nanda, Bunda Jahat...... 
Nanda tak ingin bunda pergi dari rumah ini, maaf atas kelakuan nanda yang selalu membuat bunda menitikkan air mata......
Bunda, maafkan nanda jika kata-kata nanda seringkali membuat bunda sedih dan kecewa......
Bunda, maaf jika nanda tak pernah bisa membanggakan bunda.....
Bunda, maaf jika nanda tak bisa meraih prestasi seperti yang bunda inginkan......
Bunda, maaf jika nanda selalu membuat bunda kecewa.....
Membuat bunda menjadi tak ingin menceritakan nanda pada satu orangpun.....
Bunda, izinkan nanda melihat senyum bunda.....
izinkan nanda mengusap airmata bunda......
izinkan nanda mengukir sebuah senyum kebanggaan di wajah bunda.......
kata maaf dan terimakasih tak akan berhenti nanda ucapkan.....
bunda harus tau, betapa nanda mencintai bunda.....
betapa besarnya rasa bersalah nanda pada bunda......
bunda, maafkan nanda yang tak bisa menjadi seperti yang bunda inginkan......
maafkan nanda yang belum membuat bunda bahagia atas kehadiran nanda........ 



Bukan Berarti Kalah

“Dear diary, hari ini Icha lomba lagi, hari ini Icha akan menghadapi tantangan lagi. Diary, terimakasih ya udah mau denger  semua pengalaman lomba Icha, Icha tidak tahu apakah besok Icha akan berdiri di atas panggung itu? hanya Allah yang tahu. Icha hanya bisa berusaha……..” Icha menutup diary kecilnya, diary kuning yang dibelinya bersama Dilla, salah seorang temannya. Icha mempunyai dua diary, yang satu lagi bergambar Mickey Mouse, tempatnya mencurahkan semua keesalannya terhadap teman sekelasnya. 


 Icha meletakkan diary itu di bawah kasurnya dan beranjak dari kamarnya, mandi lalu bersiap untuk pergi ke lokasi perlombaan. Setelah berjam-jam pembukaan, Icha duduk di depan ruang lab komputer, jantungnya berdegup kencang. Perlombaandimulai, Arif, Naufal, dan Ainul. Memasuki lab komputer. Sedangkan Icha, Fadhel, Afif, dan Fathur duduk manis menunggu giliran mereka di gelombang 2 dan 3.
“Afif, coba lihat catatannya………..” Ujar Icha pada Afif yang sedang membaca ulang latihan kemarin, Afif memberikan catatan itu, Icha menghafalnya kembali, dia rasa seperti inilah soal yang akan keluar, tahun kemarin Icha juga sempat mengikuti lomba ini. Dia masih ingat semua kejadian sebelum, saat, dan setelah lomba, walau sudah setahun yang lalu. Setiap peristiwa lomba yang diikutinya, selalu diingatnya. Mungkin itulah pengalaman yang paling berkesan untuknya, yang menjadikan dia semakin semangat mengikuti berbagai macam lomba adalah kekalahan. Icha seorang yang tidak mudah putus asa, dia akan memberikan yang terbaik untuk semua, kalaupun kalah, dia akan mencobanya kembali. Saat Icha sedang asyik membaca ulang kembali latihan kemarin, Hafidz mengagetkannya, sahabat Icha sejak kelas 4.
“Icha, belum mulai ya??”
“Hah? Apa? Oh, belum Fidz, aku gelombang tiga, sekarang masih gelombang pertama……”
“Lama ya? Mana ustadz Pian??”
“Nggak tahu juga tuh, dari tadi aku sms nggak bales, kalo ditelfon baru bisa dihubungin, isyarat pesannya kekecilan kali ya?? Kamu sudah Fidz?? ”
“Ya, betul…… betul…… betul…….”
“Final masuk nggak??”
“Wuuih, tentu masulah, Hafidz gitu lho!”
“Ya, sudah, latihan lagi sana, bareng Izzah atau Dioz……..”
“Bye……..” Hafidz berlalu pergi, dia tersenyum kecil melihat sahabatnya yang super lucu itu. gelombang satu selesai, Ainul keluar dari lab komputer dan mencari Icha, menyampaikan sebuah berita penting, kelihatannya.
“Icha, drawing toolbarnya kok nggak ada??”
“Ya, mana tau aku, aku bukan petugasnya, aku peserta……..”
“Beneran nggak ada Icha…….”
“Yang dipake office dua ribu tiga atau dua ribu tujuh??”
“Dua ribu tiga…..”
“Gimana ya? Kalo office dua ribu tiga aku udah banyak lupa, latihan maren makenya dua ribu tujuh…..”
“Ya sudah, sms ustadz aja…..” Afif mengagetkan Icha dan Ainul.
“Oh, ya……” Seru Fadhel dan Fathur.
“Cepat sms Cha, sebelum gelombang tiga dimulai…….”
Icha berlari ke belakang kantin, kebetulan ada Dioz disana dengan heran ia bertanya pada Icha.
“Icha, ada apa? Kok kayaknya penting banget gitu?”
“Gawat, Yoz, aku sms ustadz dulu…….”
“Ehm, Icha dah berani nih deket ama ustadz lagi, nggak takut diejek lagi??”
Dioz jahil mengganggu Icha, Icha tak memperdulikannya, lama ICha menunggu balasan dari ustadz. Gelombang ke 2, sudah memasuki lab komputer, Dioz masih makan mie di kantin, final lomba scrabble dimulai 2 jam lagi.
“Icha, telfon aja ustadz, gelombang kedua udah masuk…….”
“Telfon? Kamu ada pulsa yoz??”
“Lah, emang kamu nggak ada pulsa??”
“Ada sih, tapi……”
“Ah, banyak omong, telfon aja sekarang…….” Icha mengangguk, menekan tombol dan menelfon ustadz.
“Halo, Assalamu’alaikum?”
“Ustadz, temen yang lain pada nanyain Icha, Icha nanya ke Afif dia juga nggak tahu, Icha kebanyakan udah lupa office dua ribu tiga……”
“SekarangIcha dimana? Lombanya sudah??”
“Di RSBI tadz, belum, Icha gelombang tiga…..”
“Afif gimana? Udah belum??”
“Afif, bareng Icha, ustadz dimana sekarang? Kok nggak ngawas dari pagi??”
“Ustadz kuliah nak, nanti ustadz kesana tapi Cuma sebentar, itu juga kalo dapet izin….”
“Iya tadz, iya…..”
“Ya, sudah, Assalamu’alaikum……”
“Wa’alikumsalam……” Icha setengah berlari kea rah Fadhel, Fathur dan Afif, tersenyum dan memberitahu mereka bahwa ustadz akan datang. Sekarang pukul 12.05, itu artinya sudah saatnya sholat Dzuhur, tapi, adzan belum juga terdengar. Saat mereka seang menunggu adzan Dzuhur dekaligus giliran, saat itulah ustadz datang dengan membawa tas hitam.
“Icha…..” panggil ustadz, Icha menoleh dan setengah berlari kea rah ustadz, Afif, Naufal, Fathur dan Ainul. Semua peserta lomba TIK dari SDIT cepat menggerumuni ustadz, Ima menyikut Icha dan tersenyum sambil melirik ustadz Pian.
“Apa sih??” Icha sedikit kesal dengan ulah teman sekelasnya, bahkan akhir-akhir ini, anak kelas B, ikut-ikutan mengganggunya jika bertanya pada ustadz. Entah apa alasan mereka, yang jelas ulah mereka membuat Icha semakin malas bertanya pada ustadz. Dia hanya berani bertanya pada ustadz secara tidak langsung. Setelah bertanya banyak hal mengenai lomba, mereka duduk kembali di kursi yang telah disediakan. Ustadz menyapa alumni SDIT yang bersekolah disana, sementara Icha dan teman-temannya asyik bercanda, apapun akan jadi bahan tertawaan mereka. Sedikit haus, Icha berjalan ke kantin untuk membeli minum, tanpa sengaja, ia mendengar sedikit percakapan antara ustadz dan salah seorang alumni SDIT.
“Kalo mereka bingung, bantu aja murid ustadz ini ya…..”
“InsyaAllah ustadz, kami juga nggak tugas ngawas lomba TIK…..” mendengar itu, Icha tertawa lucu, sambil meminum teh dingin yang baru saja dibelinya.  Icha menatap taman RSBI yang tertata rapi, ia melihat ke sebuah kandang dekat kolam RSBI, hewan yang disebut ayam. Sudah biasa kulihat, tapi yang ini sangat unik, tuguhnya kecil dan pendek.
“Dek Icha……” suara seseorang  mengagetkan Icha, ia  berusaha mencari asal suara itu, kulihat seorang laki-laki tinggi, berjaket hitam, berkulit putih, hidung mancung dan memakai kacamata. Orang itu tersenyum,  Icha membalas senyumnya dan berusaha mengingat siapa dia.
“Oh, bang Rian…….” Seru Icha mengagetkan Ainul,Icha tertawa melihatnya.
“Ustadz kuliah dulu ya……” ustadz berujar pada mereka
“Iya ustadz…..” balas Ainul dan Fathur berserempak.
“Titi Dj tadz…..” seru Afif dari belakang.
“Hati-hati di jalan tadz…..” Icha menyambung, ustadz tersenyum dan berlalu pergi. Tak lama, sekarang saatnya kelompok Icha mengerjakan tugas lomba, tangan Icha mulai gemetaran, ia gugup. Satu persatu soal dikerjakannya, belum ada peserta yang selesai. Keahliannya mengetik membuat waktu yang dibutuhkan olehnya tak begitu lama.
“Bismillah……” gumamnya.
“Kak, sudah……” ujarnya pasa seorang pengawas yang juga alumni SDIT.
“Tanda tangan disini dan boleh keluar, pengumuman bersok……” pengawas itu memberikan selembar kertas hps dan sebuah pena. Icha menulis namanya dan menanda tanganinya. Icha keluar dari lab komputer, sudah sedikit lega. Sampai di rumah, sudah pukul 05.00 Icha membuka buku TIK dan berusaha mengingat yang ia kerjakan tadi, ia tersenyum dan saat jarum jam menunjukkan pukul 09.00, Icha memasuki kamarnya. Saat hendak menutup matanya, hpnya bordering, sebuah sms masuk.
“Bagaimana lombanya Icha? ” pesan dari ustad Pian, setelah membaca Icha membalasnya.
“Alhamdulillah ustadz, yang belum selesai hanya Naufal dan Ainul, yang lain Alhamdulillah selesai……” Icha mengirim pesan itu lalu memejamkan matanya. Seperti biasa, pagi hari Icha bersiap untuk ke sekolah, sampai di sekolah ia akan duduk manis di kelas sambil bercerita. Iftitah dan pelajaran dimulai. Hari ini hari kamis, itu artinya, hari inipun pulang pukul 04.00. hari ini Icha lebih banyak diam, Icha juga tak banyak bermain. Tapi, saat di perjalanan pulang wajahnya tak lepas dari senyuman.
“Icha, ajak Afif kls 6 ke RSBI skrng…..” seperti itulah sms ustadz Pian yang membuat Icha GR. Dia sudah senang, sangat senang. Ia menduga bahwa ia memenangkan lomba itu, tapi Allah maha tahu segala yang baik untuknya. Begitu sampai di rumah, Icha langsung ke RSBI tanpa mengganti baju, ia hanya meletakkan tas, ia berlari kea rah Rizka tersenyum dan bertanya.
“Apa aku menang??” Rizka hanya menggeleng, wajahnya cemberut.
“Terus??”
“Afif yang menang, awalnya aku juga kaget nggak percaya, padahal Icha pintar yang namanya komputer…..” wajah Icha berubah murung, ia sedih karena ternyata ia gagal. Berusaha menahan air mata yang sejak tadi bertengger di pelupuk matanya, Icha bertanya kembali pada Rizka.
“Kamu?”
“Tidak, ini milik kak Yais….”
“Terus?”
“Aku hanya menemani Izzah……” aku berlari kea rah ayahku, menunggu sebentar dan buru-buru pulang. Di rumah, Ayah dan Ibunya tak henti menghibur dan menyemangati Icha.
“Kemenangan bukan segelanya……..”
Air mata Icha tak bisa terhenti. Di sekolah, ustadz dan ustadzahpun menyemangatinya. Tapi, tidak temannya, mereka terus mengejek Icha.
“Ustadz izin hanya untuk kalian, bersyukur……”
“Iya, aku aja yang lebih penting dari TIK nggak diperhatiin bener…..” entah apa lagi kata-kata tajam yang terlontar dari mulut temannya, membuat Icha sedih dan sakit sekali. Dari semua itu, kata yang paling sering didengarnya dari motivatornya yang luar biasa adalah kata sederhana penuh arti.
“Kita kalah, bukan berarti kalah sepenuhnya, tapi kita kalah untuk menang, menang berani tampil, menang dapat ilmu, dan banyak lagi yang menyebabkan kita menang dari orang lain, Allah tak akan membiarkan hambanya menangis Cha, yang penting kita sudah berusaha…….”


Rabu, 05 Oktober 2011

Cinta Hani Untuk Allah

                Sehari setelah perkenalan itu, Hani makin dekat saja denganku. Aku sangat menyayangi Hani. Hani anak yang baik, tapi aku tidak tahu bagaimana Islam Hani. Saat itu, aku sedang bersama Yayas dan Mia. Dua adik sepupuku ini sangat manja sekali, dimana saja.
“Kak, Mia tadi di kelas buat surat untuk Tika……” Yayas berujar padaku.
“Iya? Surat apa?” aku bertanya pada Yayas, sambil sedikit melirik Mia.
“Suraat…….” Mia segera merogoh tasnya, mengambil sebuah amplop putih. Tiba-tiba Hani datang, ia duduk di pangkuanku, kedekatanku dengan Hani terkadang membuat dua adik sepupuku ini protes. Aku memeluk Hani sejenak, mengambil amplop surat Mia dan mulai membaca.
“Tika suka sama Osa?” tanyaku pada Mia sambil menutup kembal amplop itu. 


Mia mengangguk pelan, Yayas hanya tersenyum jahil pada Mia. Hani dari tadi hanya menatap lagit biru yang luas.
“Rifky udah punya pacar dirumahnya Yas, hati-hati aja……” Mia tersenyum, sifat jahilnya kambuh.
“Iya, itu pacarnya, si Yayas…….” Aku menunjuk Yayas.
“Bukan kak, ada pacarnya Rifky dirumah, Yayas juga tahu…..” Yayas menyahut.
“Playboy dong??”  aku tersenyum
“Ih, Osa juga kok……..” Yayas tak mau kalah.
“Osa  juga??” tanyaku pada Mia, aku heran dua adikku ini sudah punya pacar semua, mereka masih terlalu kecil.
“Iya, bener kata Yayas…..”
“Kok masih mau??” Yayas dan Mia hanya tersenyum kecil, bel istirahat belum berbunyi. Itu artinya, aku bisa menemani mereka hingga dijemput. Aku bercakap sedikit tentang Rifky dan Osa, Mia dan Yayas yang sok tahu, menjawab seenaknya. tak lama, datanglah Dadan menjemput Yayas dan Mia. Sejenak tempat itu hening, aku dan Hani sama menatap langut biru. Memecah kesunyian, aku bertanya pada Hani iseng.
“Udah punya pacar belom Hani??”
“Nggak punya……”
“Suka sama siapa?”
“Nggak ada……”
“Sayang??”
“Nggak juga……”
“Ini aja deh, Hani cinta ama siapa hayoo??”
“Hani nggak cinta sama siapa-siapa kak, cinta Hani hanya satu dan hanya untuk Allah…….” Jawaban Hani membuatku terdiam, aku membelai kepalanya lembut dan tersenyum. Aku bangga dengan jawaban Hani, Hani tak seperti teman-temannya yang sibuk dengan urusan pacar, aku bangga dengan Hani, aku bangga bisa dekat dengan Hani. Cinta Hani hanyalah untuk Allah. Hanya satu, untuk Allah.  Jawaban yang jarang sekali didapatkan dari seorang anak orang kaya yang tak begitu memperdulikan agama. Jawaban yang jarang sekali dipikirkan oleh seorang anak kelas satu!


Kisah Nyata Yang Kualami, Jawaban Nyata Yang Kudengar Dari Seorang Hani, Anak kelas Satu A, Angkatan Ke 9

.

[gigya width="100" height="100" src="http://www.widgipedia.com/widgets/orido/Jam-Garuda-Indonesia-4639-8192_134217728.widget?__install_id=1276566823397&__view=expanded" quality="autohigh" loop="false" wmode="transparent" menu="false" allowScriptAccess="sameDomain" ]