Jumat, 21 Oktober 2011

Motivatorku


 Randa bernyanyi di atas panggung itu, sang artis SDIT sekarang sudah populer di SMP 01 Curup Kota. Ingin rasanya aku menangis, sepertinya benar ustadz Pian membenciku. Tadinya aku terlampau senang, karena sms itu, aku membacanya berkali-kali, kukira aku memenangkan lomba itu, ternyata tidak. Seperti ditipu, hatiku sakit sekali, aku bisa menahan air mataku disana, Randa masih saja menyanyi, aku menghampiri Rizka, wajahnya tampak murung.
“Hai, Riz, ada apa??”
“Aku kalah……..”
“Piala itu………” aku menunjuk sebuah piala, bertuliskan ‘Juara 1 Lomba Olimpiade IPA’
“Ini punya kak Yais……..” Rizka menjawab lesu, aku tersenyum dan setengah berlari ke arah ayahku. Dari wajah dan sikapku, aku terlihat gembira dan semangat, tapi tak dihatiku. Kebetulan, ada beberapa teman ayahku disana, mereka sedikit bertanya tentangku, dan Alhamdulillah, mendapat beberapa pujian, walau begitu hatiku masih tetap murung, tak bisa tersenyum. Aku ingin pulang, ingin menuntaskan kesedihan hatiku. Melihat Randa yang akan bernyanyi kembali, aku mengatakan kepada ayah bahwa aku ingin mendengar suara Randa. Sedang asyik menikmati lagu yang dibawakan Randa, Izzah dan Rizka mengahampiriku.
“Kasihan banget ustadz Pian……..”
“Emang kenapa dia?”
“Ustadz udah bilang, Randa jangan suka nyanyiin lagu pop, tapi masih aja dilawan……..”
“Ya, terserah Randa dong, Randa juga cocok nyanyi gitu, udah keren, cakep, suaranya bagus…….” Ujarku sambil mengerutkan dahi, kulihat ustadz Pian menuju ke arah kami, aku segera berbalik dan berteriak kepada Izzah dan Rizka.
“Aku duluan…..” mereka saling pandang, tak mengerti. Aku segera mengajak ayah pulang. Ketika sampai di tempat parkir, ayah tersenyum dan bertanya padaku.
“Ada ustadz Pian terus pergi, gitu yah?” aku hanya tersenyum, sampai di rumah aku mengganti baju dan mulai membantu ibuku. Hatiku masih sedih, aku berusaha menghibur dengan mengkhayal, tapi itu malah menambah kesedihan. Aku bernyanyi, tapi tetap seperti itulah. Aku tak dapat menyembunyikan kesedihanku dari ayah dan ibu, mereka mengetahui betul sifatku, air mataku kembali mengalir, aku mengusap air bening itu.
“Sudahlah, memang bukan rezeki Icha…….”
“Kalo itu tidak mengapa bu……..” mataku mulai berkaca-kaca kembali
“Icha sudah biasa kalah bu…….” Lanjutku lagi, air mataku kembali membanjir, susahnya menenangkan hatiku.
“kok nangis terus??”
“Ustadz kok mau nipu Icha? Itu yang bikin Icha sedih, kok ngebohongin Icha, Icha tau udah sering Icha kalah mewakili sekolah, tapi masa harus dibohongin Ichanya?”
“Ustadz bukan ingin ngebohongin Icha, tapi pengen Icha lebih semangat karena melihat teman lain menang……” aku diam dan memasuki kamar, mulai menulis diary, tempatku mencurahkan isi hatiku, aku yakin akan mengurangi rasa sedihku walau sedikit. Matahari sudah mulai tenggelam, langit kemerah-merahan, indah sekali rasanya. Aku merogoh kantong celanaku, mengambil hp dan mulai menyusun kata, mengirim pesan itu untuk sahabatku Intan. Langit menghitam, bulan bagai lampu yang menyinari ruang gelap, memberi sedikit cahaya, aku terlelap, memimpikan sesuatu yang indah, indah sekali.

“Cuma itu? Secepat itu kamu marah Cha?” seru Rizka padaku, sudah kuduga ini bukan ide yang baik.
“nggak marah, Cuma kesel aja dibohongin……” aku tersenyum, berharap Rizka tak besar mulut, menyampaikannya pada ustadz. Rizka menatapku aneh dan berlalu. Aku memainkan pensil biru itu, menatap ke arah langit-langit kelas, teriakan teman-teman sekelasku terdengar hingga perpustakaan. Seperti sudah tradisi saja, setiap pelajaran kosong, mereka akan bermain, sekarang pelajaran TIK, ustadz Pian belum juga menjejakkan kakinya di kelas ini. aku tak terlalu memperdulikannya hatiku masih kesal dengan ustadz. Afif, pasti sebentar lagi namanya akan terdengar, kemarin Afif tidak datang mengambil hadiah. Benar saja! Terdengar suara ustadz dari kantor memanggil Afif, aku hanya menatap langit-langit kelas berharap setelah ini akulah sang juara. aku berjalan menyusuri gang menuju rumahku, wajahku menunduk, memikirkan lomba itu.
“Bukankah aku telah mengikutinya dua kali?Ttapi kenapa aku belum memenangkan lomba itu hingga kini? Bukankah aku telah akrab dengan komputer sejak kecil?”  berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Saat sampai di rumah, aku membuka seragam sekolah, menggantinya dengan pakaian bermain, duduk di kursi teras dan mulai memandang langit, pikiranku kembali ke peristiwa kemarin, di hatiku masih terselinap kekesalan yang sangat dalam.

Pagi hari ini, aku belum dapat melupakan kejadian itu, kakiku seperti tak ingin berjalan ke sekolah. Aku berjalan memasuki kelas, perlahan tapi, pasti nyampe. Setelah itu barulah aku keluar, tapi tak mengikuti iftitah. Aku memandang sekitar, berharap ada yang bisa membuatku kembali semangat.
“Icha……” panggil Hafidz mengagetkanku, aku terlalu asyik melihat adik kelasku. Aku menoleh dan tersenyum padanya.
“Ada apa??”
“Ikuti iftitah……” seru Hafidz sambil berlalu, aku tak memperdulikannya, hingga iftitah selesai, aku berjalan lesu, masuk kedalam kelas. Ustadz Fendi memasuki kelas dan mulai mengajar, memberikan tugas, dan duduk menunggu. Satu persatu soal sudah kukerjakan, aku memberikannya kedepan.
“Sudah Nisa??” Tanya ustadz, aku mengangguk pelan. Dan kembali ke tempat dudukku. Aku mengambil dua lembar kertas kosong, dan mencoret-coret kertas itu hingga menjadi sangat kotor, aku ingin pulang. Di sekolah aku tak akan dapat melupakan kejadian itu, setiap memasuki perpus, aku akan melihat piala Afif. Ketika istirahat tiba, aku segera keluar, duduk di teras lokal sambil menjilati es yang baru kubeli, kulihat ustadz Fendi pergi bersama Aziza dan Randa, pasti mereka akan mengikuti lomba, aku selalu sedih ketika melihat piala-piala berbaris rapi di lemari kantor, tapi tak satupun piala itu hasil kemenanganku.
“Hey…..” Intan memegang pundakku
“Kenapa?” tanyaku santai
“Jangan melamun, ohya, udah dibuat belum??”
“nggak kok, siapa yang melamun? Apa yang udah?”
“Ceritanya, cerpen untuk ustadz Fendi??”
“Ntahlah…..” aku menjawab sambil berlalu, Intan menatapku aneh, tak mengerti apa yang terjadi denganku.  Sampai di rumah, aku kembali mengambil diaryku, mencoret lembar kosong yang masih tersisa, habis lembar kosong itu, aku membuka lembar sebelumnya. Membaca ulang kembali apa yang kurasakan selama ini. kebanyakan isi diaryku adalah kekalahan, tapi aku santai saja menghadapinya saat itu. Aku ingat saat pertama kali aku mengikuti lomba TIK, ibu terus menyemangatiku agar tidak putus asa.
“Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita, walau jelek di mata manusia, InsyAllah kita bagus di mata Allah…..” Dan saat aku kalah mengikuti lomba Tahfidz.
“Itu artinya hafalan Icha belum lebih bagus dari anak sd lain, perhatikan makhroj huruf dan tajwidnya bila menghafal……” Saat aku kalah lomba pada saat milad sekolahku.
“Tidak perlu bersedih, ntar siapa yang menang saat ini akan melihat Icha menang tahun depan……” Saat try outku jauh dari sepuluh besar dan saat aku memandang kebawah bukan ke atas.
“Walaupun Izzah di bawah Icha tapi jangan terlena, kalo Icha terus melihat kebawah, bisa-bisa Icha menetap disana atau malah turun. Tapi, kalo Icha melihat keatas, InsyaAllah nilai Icha langsung loncat jadi nomor satu…..” Dan kemarin saat aku menangis menyesali kekalahanku.
“Menang kalah itu hanya pandangan manusia, Icha sudah mengikuti saja Icha sudah luar biasa, luar biasa dari semua yang batal mengikuti lomba itu dan keuntungan terakhir Icha mendapatkan ilmu……” aku tersenyum mengingat semua nasihat ibu, lembut tutur ibu dalam menasihatiku, bagiku. Ibu lebih dari seorang Mario Teguh yang terkenal sebagai motivator hebat, ibu lebih dari seorang Andrie Wongso yang sering dijuluki motivator nomor satu di Indonesia. Mulai sekarang aku akan bangkit! Aku pasti bisa mengukir senyum indah di wajah cantik ibuku! Sekarang, kuputuskan tak ada lagi kata putus asa! Aku akan bangkit dari ketidak percayaan dan sekarang, aku akan keluar dari lubang kekalahan yang gelap gulita tanpa cahaya kemenangan dan kepercayaan! Terimakasih ibu, engkaulah motivatorku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 21 Oktober 2011

Motivatorku


 Randa bernyanyi di atas panggung itu, sang artis SDIT sekarang sudah populer di SMP 01 Curup Kota. Ingin rasanya aku menangis, sepertinya benar ustadz Pian membenciku. Tadinya aku terlampau senang, karena sms itu, aku membacanya berkali-kali, kukira aku memenangkan lomba itu, ternyata tidak. Seperti ditipu, hatiku sakit sekali, aku bisa menahan air mataku disana, Randa masih saja menyanyi, aku menghampiri Rizka, wajahnya tampak murung.
“Hai, Riz, ada apa??”
“Aku kalah……..”
“Piala itu………” aku menunjuk sebuah piala, bertuliskan ‘Juara 1 Lomba Olimpiade IPA’
“Ini punya kak Yais……..” Rizka menjawab lesu, aku tersenyum dan setengah berlari ke arah ayahku. Dari wajah dan sikapku, aku terlihat gembira dan semangat, tapi tak dihatiku. Kebetulan, ada beberapa teman ayahku disana, mereka sedikit bertanya tentangku, dan Alhamdulillah, mendapat beberapa pujian, walau begitu hatiku masih tetap murung, tak bisa tersenyum. Aku ingin pulang, ingin menuntaskan kesedihan hatiku. Melihat Randa yang akan bernyanyi kembali, aku mengatakan kepada ayah bahwa aku ingin mendengar suara Randa. Sedang asyik menikmati lagu yang dibawakan Randa, Izzah dan Rizka mengahampiriku.
“Kasihan banget ustadz Pian……..”
“Emang kenapa dia?”
“Ustadz udah bilang, Randa jangan suka nyanyiin lagu pop, tapi masih aja dilawan……..”
“Ya, terserah Randa dong, Randa juga cocok nyanyi gitu, udah keren, cakep, suaranya bagus…….” Ujarku sambil mengerutkan dahi, kulihat ustadz Pian menuju ke arah kami, aku segera berbalik dan berteriak kepada Izzah dan Rizka.
“Aku duluan…..” mereka saling pandang, tak mengerti. Aku segera mengajak ayah pulang. Ketika sampai di tempat parkir, ayah tersenyum dan bertanya padaku.
“Ada ustadz Pian terus pergi, gitu yah?” aku hanya tersenyum, sampai di rumah aku mengganti baju dan mulai membantu ibuku. Hatiku masih sedih, aku berusaha menghibur dengan mengkhayal, tapi itu malah menambah kesedihan. Aku bernyanyi, tapi tetap seperti itulah. Aku tak dapat menyembunyikan kesedihanku dari ayah dan ibu, mereka mengetahui betul sifatku, air mataku kembali mengalir, aku mengusap air bening itu.
“Sudahlah, memang bukan rezeki Icha…….”
“Kalo itu tidak mengapa bu……..” mataku mulai berkaca-kaca kembali
“Icha sudah biasa kalah bu…….” Lanjutku lagi, air mataku kembali membanjir, susahnya menenangkan hatiku.
“kok nangis terus??”
“Ustadz kok mau nipu Icha? Itu yang bikin Icha sedih, kok ngebohongin Icha, Icha tau udah sering Icha kalah mewakili sekolah, tapi masa harus dibohongin Ichanya?”
“Ustadz bukan ingin ngebohongin Icha, tapi pengen Icha lebih semangat karena melihat teman lain menang……” aku diam dan memasuki kamar, mulai menulis diary, tempatku mencurahkan isi hatiku, aku yakin akan mengurangi rasa sedihku walau sedikit. Matahari sudah mulai tenggelam, langit kemerah-merahan, indah sekali rasanya. Aku merogoh kantong celanaku, mengambil hp dan mulai menyusun kata, mengirim pesan itu untuk sahabatku Intan. Langit menghitam, bulan bagai lampu yang menyinari ruang gelap, memberi sedikit cahaya, aku terlelap, memimpikan sesuatu yang indah, indah sekali.

“Cuma itu? Secepat itu kamu marah Cha?” seru Rizka padaku, sudah kuduga ini bukan ide yang baik.
“nggak marah, Cuma kesel aja dibohongin……” aku tersenyum, berharap Rizka tak besar mulut, menyampaikannya pada ustadz. Rizka menatapku aneh dan berlalu. Aku memainkan pensil biru itu, menatap ke arah langit-langit kelas, teriakan teman-teman sekelasku terdengar hingga perpustakaan. Seperti sudah tradisi saja, setiap pelajaran kosong, mereka akan bermain, sekarang pelajaran TIK, ustadz Pian belum juga menjejakkan kakinya di kelas ini. aku tak terlalu memperdulikannya hatiku masih kesal dengan ustadz. Afif, pasti sebentar lagi namanya akan terdengar, kemarin Afif tidak datang mengambil hadiah. Benar saja! Terdengar suara ustadz dari kantor memanggil Afif, aku hanya menatap langit-langit kelas berharap setelah ini akulah sang juara. aku berjalan menyusuri gang menuju rumahku, wajahku menunduk, memikirkan lomba itu.
“Bukankah aku telah mengikutinya dua kali?Ttapi kenapa aku belum memenangkan lomba itu hingga kini? Bukankah aku telah akrab dengan komputer sejak kecil?”  berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Saat sampai di rumah, aku membuka seragam sekolah, menggantinya dengan pakaian bermain, duduk di kursi teras dan mulai memandang langit, pikiranku kembali ke peristiwa kemarin, di hatiku masih terselinap kekesalan yang sangat dalam.

Pagi hari ini, aku belum dapat melupakan kejadian itu, kakiku seperti tak ingin berjalan ke sekolah. Aku berjalan memasuki kelas, perlahan tapi, pasti nyampe. Setelah itu barulah aku keluar, tapi tak mengikuti iftitah. Aku memandang sekitar, berharap ada yang bisa membuatku kembali semangat.
“Icha……” panggil Hafidz mengagetkanku, aku terlalu asyik melihat adik kelasku. Aku menoleh dan tersenyum padanya.
“Ada apa??”
“Ikuti iftitah……” seru Hafidz sambil berlalu, aku tak memperdulikannya, hingga iftitah selesai, aku berjalan lesu, masuk kedalam kelas. Ustadz Fendi memasuki kelas dan mulai mengajar, memberikan tugas, dan duduk menunggu. Satu persatu soal sudah kukerjakan, aku memberikannya kedepan.
“Sudah Nisa??” Tanya ustadz, aku mengangguk pelan. Dan kembali ke tempat dudukku. Aku mengambil dua lembar kertas kosong, dan mencoret-coret kertas itu hingga menjadi sangat kotor, aku ingin pulang. Di sekolah aku tak akan dapat melupakan kejadian itu, setiap memasuki perpus, aku akan melihat piala Afif. Ketika istirahat tiba, aku segera keluar, duduk di teras lokal sambil menjilati es yang baru kubeli, kulihat ustadz Fendi pergi bersama Aziza dan Randa, pasti mereka akan mengikuti lomba, aku selalu sedih ketika melihat piala-piala berbaris rapi di lemari kantor, tapi tak satupun piala itu hasil kemenanganku.
“Hey…..” Intan memegang pundakku
“Kenapa?” tanyaku santai
“Jangan melamun, ohya, udah dibuat belum??”
“nggak kok, siapa yang melamun? Apa yang udah?”
“Ceritanya, cerpen untuk ustadz Fendi??”
“Ntahlah…..” aku menjawab sambil berlalu, Intan menatapku aneh, tak mengerti apa yang terjadi denganku.  Sampai di rumah, aku kembali mengambil diaryku, mencoret lembar kosong yang masih tersisa, habis lembar kosong itu, aku membuka lembar sebelumnya. Membaca ulang kembali apa yang kurasakan selama ini. kebanyakan isi diaryku adalah kekalahan, tapi aku santai saja menghadapinya saat itu. Aku ingat saat pertama kali aku mengikuti lomba TIK, ibu terus menyemangatiku agar tidak putus asa.
“Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita, walau jelek di mata manusia, InsyAllah kita bagus di mata Allah…..” Dan saat aku kalah mengikuti lomba Tahfidz.
“Itu artinya hafalan Icha belum lebih bagus dari anak sd lain, perhatikan makhroj huruf dan tajwidnya bila menghafal……” Saat aku kalah lomba pada saat milad sekolahku.
“Tidak perlu bersedih, ntar siapa yang menang saat ini akan melihat Icha menang tahun depan……” Saat try outku jauh dari sepuluh besar dan saat aku memandang kebawah bukan ke atas.
“Walaupun Izzah di bawah Icha tapi jangan terlena, kalo Icha terus melihat kebawah, bisa-bisa Icha menetap disana atau malah turun. Tapi, kalo Icha melihat keatas, InsyaAllah nilai Icha langsung loncat jadi nomor satu…..” Dan kemarin saat aku menangis menyesali kekalahanku.
“Menang kalah itu hanya pandangan manusia, Icha sudah mengikuti saja Icha sudah luar biasa, luar biasa dari semua yang batal mengikuti lomba itu dan keuntungan terakhir Icha mendapatkan ilmu……” aku tersenyum mengingat semua nasihat ibu, lembut tutur ibu dalam menasihatiku, bagiku. Ibu lebih dari seorang Mario Teguh yang terkenal sebagai motivator hebat, ibu lebih dari seorang Andrie Wongso yang sering dijuluki motivator nomor satu di Indonesia. Mulai sekarang aku akan bangkit! Aku pasti bisa mengukir senyum indah di wajah cantik ibuku! Sekarang, kuputuskan tak ada lagi kata putus asa! Aku akan bangkit dari ketidak percayaan dan sekarang, aku akan keluar dari lubang kekalahan yang gelap gulita tanpa cahaya kemenangan dan kepercayaan! Terimakasih ibu, engkaulah motivatorku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.

[gigya width="100" height="100" src="http://www.widgipedia.com/widgets/orido/Jam-Garuda-Indonesia-4639-8192_134217728.widget?__install_id=1276566823397&__view=expanded" quality="autohigh" loop="false" wmode="transparent" menu="false" allowScriptAccess="sameDomain" ]