Selasa, 31 Januari 2012

Khayal Icha - Tak Ada Untung

                                                  Tak Ada Untung

      “Ustadz kemana? Ini kertas remedialku bagaimana?” aku mulai menyadari, bahwa ustadz Mulyadi sudah tak berada di sekolah. Entah kapan perginya, aku setengah berlari ke arah kantor. Menanyakan pada ustadz dan ustadzah yang ada di sana, tapi mereka tidak tahu. Adzan terdengar, aku semakin cemas. Segera aku berlari ke kelasku, mengambil mukenah dan berlari ke masjid. Semua temanku sudah di masjid, tapi ada beberapa yang masih santai di jalan. Aku tidak tahan, kulangkahkan kakiku cepat menuju masjid. Kuharap ustadz Mulyadi ada di masjid. Waktu cepat sekali berlalu, iqomah terdengar.  Aku melepas sandalku dan berjalan cepat masuk ke masjid.
“Allahu Akbar.” Terdengar suara imam, memulai sholat. Aku kenal suara itu, bukankah itu ustadz Mulyadi? Di dalam masjid, aku memakai mukenahku. Lalu sedikit berjingkat, melihat siapa yang mengimami sholat. Belum terlihat jelas, aku terus berusaha mencari tahu.
“Cha, sholat, nanti masbuk.” Tegur Intan, aku tersadar, dan segera memulai sholatku.
“Assalamu’alaikum warohmatullah.” Sholat usai, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, sambil mengucapkan salam. Berdzikir, sholat rawatib dan mendengarkan pengarahan dari ustadzah. Aku menyikut Intan, yang duduk bersebelahan denganku.
“Pst, Intan, imam tadi siapa?” tanyaku berbisik.
“Ustadz Mulyadi.” Jawabnya mantap, aku tersenyum lega. Akhirnya kutemukan ustadz Mulyadi, selesai pengarahan dari ustadzah. Kami diperbolehkan pulang ke sekolah untuk istirahat dan makan siang. Sebelum pulang, aku menghampiri ustadz, memberikan kertas remedialku.
“Ustadz, masih bisa dikumpulkan dan diambil nilai kan? Ini punya Nisa,” ucapku, sambil memberikan kertas itu. ustadz mengangguk dan tersenyum. Mengambil kertas itu.  setelah itu kembali duduk, bergabung dengan ustadz yang lain. Aku segera melangkahkan kaki ke luar. Aku sudah di tinggal jauh teman-teman. Setengah berlari aku mengejar mereka.
“Hey, tunggu!” seruku, aku mulai lelah berlari. Lativa menoleh, berhenti menungguku. Aku berusaha berjalan cepat. Dengan nafas tersengal, aku terus melangkahkan kaki.
“Huft! Capek!” keluhku begitu sampai di dekat Lativa, aku memegang pundaknya.
“Kenapa juga mau lari,” ucap Lativa asal, membuatku sedikit jengkel. Setelah itu, melanjutkan perjalanan. Lebih pelan dari biasanya, aku masih terlalu lelah.
“Cha, sebenarnya, kamu itu bisa pintar Matematika,” ucap Lativa memulai pembicaraan.
“Gimana bisa? Dah jelas setiap Matematika aku remid, lihat aja latihanku, lima, tiga, lima, enam, tujuh.”
“Bisa, tinggalkanlah sebentar yang berhubungan dengan novel atau apalah namanya itu,” jawaban Lativa membuatku sedikit terkejut.
“Hah! Tiva, mau aku focus ke Matematika aku belum kan bisa mengerti arti dari sejuta angka di buku-buku itu.” ucapku sedikit berteriak.
“Nggak lihat perubahanku? Sementara aku tinggalkan computer dan internetku, hasilnya? Lumayan kan? Delapan koma lima tinggi juga,”
“Hemm.., yah, aku akan coba, tapi serius, bagiku nilai enam saja sudah sangat susah, kau bisa. Mungkin iya kau bisa, karena di rumah kau ada saudaramu yang bisa mengajarkanmu,”
“Kau itu Cuma malas Cha, lawanlah saja,” aku tersenyum mendengar jawaban Lativa, menganggukkan kepala lalu pergi menjauhinya. Kenapa selalu Matematika yang dipertanyakan. Siapa sebenarnya yang menemukan Matematika. Haruskah ada di dunia ini Matematika. Aku menghela nafas panjang, melangkah memasuki lokal. Membuka bekal dan cepat menghabiskannya.
“Nulis lagi, apa asyiknya sih?” aku menoleh, menatap orang yang tadi berkata padaku. Aku menarik nafas dalam, lalu berlalu tanpa perduli pertanyaan dan tatapan heran orang tadi. Lativa. Duduk di teras, menatap langit. Ah, indahnya. Andai aku dapat terbang bebas ke atas sana, melihat pemandangan dari atas. Pasti lebih indah. Bisa melihat lebih luas, aku ingin sekali ke gunung. Ke puncak gunung, memandang keindahan dari atasnya. Sungai yang mengalir tenang, mengikuti lekukan alam itu indah sekali. Fikiranku hanyut terbawa khayalan entah ke mana. Benar-benar tak terasa bel sudah berbunyi, menyadarkan aku dari lamunan. Segera aku berdiri dan memasuki kelas. Ustadzah Martina berjalan masuk, duduk di sudut kelas. Anak kelompok Tahsin ustadzah Martina segera mendekati ustadzah, berlomba menulis dengan cepat. Mengumpulkan buku santri, lalu berkata.
“Ustadzah, saya pertama,” memperebutkan giliran pertama, cukup aneh bagiku. Ketika Tahfidz pastilah mereka akan memindahkan buku santri ke urutan paling bawah. Aku hanya melihat mereka dengan senyum. Menunggu giliran. Beberapa kali mereka curang, memindahkan buku santri ke atas. Hanya untuk giliran. Tapi tak apalah, giliran tak penting. Yang penting itu mengaji. Selesai mengaji, selesai pula kerusuhan itu. sekarang saatnya aku dan teman-teman harus kembali ke masjid. Melaksanakan sholat Ashar. Aku berjalan perlahan, sesekali menyelinap di antara teman dan adik kelas yang sengaja menghadang jalan. Dari belakang, terdengar seseorang berlari. Mengejarku sepertinya. Benar saja, Lativa mengejarku.
“Hey, Cha.” Sapanya, berjalan di sampingku.
“Hay,” ucapku dengan sedikit senyuman. Sambil terus menghitung langkahku.
“Apa yang kukatakan itu benar, lho!” serunya tiba-tiba. Aku berhenti, menghela nafas sejenak. Lalu melanjutkan perjalanan. Lativa terus berjalan mengiringiku, meskipun seringkali aku sengaja berhenti atau meninggalkannya.
“Berusahalah, maka nilai seratus itu akan kau genggam!” serunya, aku tak perduli. Mempercepat langkahku. Lativa mengejarku.
“Angka itu tidak perlu kau pahami,” ucapnya lagi, aku berhenti. Kembali menghela nafas. Menatapnya tajam.
“Kalau keinginanmu kuat, usahamu maksimal, percayalah Cha.” Ucap Lativa hati-hati. Kulangkahkan kembali kakiku. Lativa mengejar, aku berlari dan segera mengambil wudhu. Memakai mukenah dan duduk manis, membacakan kajianku hari ini. Kali ini Lativa diam, tak banyak bicara. Melihatku membaca Al-Qur’an, aku bersyukur. Karena sebentar lagi marahku akan benar meledak. Aku tak suka dipaksa, aku akan melakukan jika aku ingin. Selesai sholat, dengan cepat aku menyalami ustadzah. Berjalan keluar, dengan sebuah buku dan pena di tanganku. Aku menuliskan sesuatu, tak perduli siapa pun yang menabrakku di jalan. Tapi kalau itu motor aku rasa tidak mungkin, aku sudah sangat di pinggir. Lativa kembali menghampiriku. Aku rasa dia akan berceramah kembali, benar saja.
“Cha, ujian di depan mata, ingat, hitungan hari itu tak akan lama. Jika kau sibuk dengan sejuta proyek antologi dan buku-bukumu itu nilaimu akan menurun.” Mendengar itu, aku berhenti. Menatap Lativa tajam.
“Tahu apa kau?!” bentakku.
“Sudahlah jangan sok, aku tak akan pernah mau nilaiku turun,” ucapku lagi.
“Karena itu belajarlah,” balasnya, aku kembali berjalan. Lativa terus di sampingku. Berbicara, dengan sangat hati-hati. Tampaknya dia ingat, satu kata saja yang membuatku marah. Tak akan bisa dia berbicara ataupun curhat padaku berhari-hari.
“Tidak ada proyek antologi, tidak ada buku-buku yang akan kutulis, sudahlah, kau diam saja?!” seruku lagi, Lativa terdiam. Mungkin ia sudah kehabisan akal, bagaimana agar aku menyukai Matematika. Aku melangkah kembali, Lativa terus mengikutikiu. kulangkahkan kaki cepat, lelah sekali aku mendengar MATEMATIKA. Lativa setengah berlari mengejarku. Aku berhenti lagi, menatap Lativa tajam.
“Bisa diam soal MATEMATIKA?!?!!” bentakku, Lativa sedikit terkejut. Ia terdiam mematung di belakangku, kuteruskan langkahku sambil terus menggerutu. Sesekali aku menoleh ke belakang, kelihatannya aku sudah menyakiti hatinya. Tapi karena sifatku yang keras, aku kembali berbalik. Tak perduli dan terus berjalan ke masjid.
“Assalamu’alaikum.” ucapku, begitu kaki kananku melangkah masuk ke dalam. Beberapa temanku menoleh, menjawab salamku lalu kembali membaca Al-Qur’an. Aku memasuki masjid, memakai mukenah. Duduk dan menghafal surah Al-Qiyamah. Ayatnya singkat, tapi entah mengapa begitu susah menghafalnya. Mungkin karena saat ini aku tidak bisa serius, atau keadaan hatiku yang seperti ini. Terdengar salam, aku menjawab dan menoleh. Kulihat Lativa menunduk begitu aku melihatnya. Aku tersenyum puas. Tidak akan ada kata Matematika yang keluar dari mulutnya lagi. Adzan terdengar, aku menutup Al-Qur’an. Mendengar dan menjawab adzan. Setelah itu, melaksanakan sholat qabliyah sebelum Ashar. Dan sholat dipimpin imam.
“Assalamu’alaikum warohmatullah,” ucap imam, setelah sholat selesai. Menoleh ke kiri dan kanan. Setelah selesai sholat, cepat ku berdzikir lalu membuka mukenah. Semuanya rapi, ustadzah mulai memberikan evaluasi sholat kali ini. Memberi nilai lalu mempersilahkan pulang. Aku berjalan perlahan ke luar, memakai sandal lalu berjalan kembali ke sekolah.
“Icha tunggu!” seru seseorang, aku menoleh ke belakang, Lativa. Anak ini memang tak kehabisan akal membujukku. Memang teman yang sejati. Aku berbalik dan kembali berjalan. Lativa mengejarku, memegang pundakku. Aku menoleh, tersenyum dan kembali berjalan.
“Cha, apa benar tak ada proyek antologi dan tak ada cerpen?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk.
“Proyek antologi memang banyak, tapi aku terlalu takut untuk mengeluarkan naskah yang kusimpan di laci meja,” jawabku, Lativa tersenyum.
“Nah, coba kau fikir. Cerpen yang sudah bertumpuk itu mau kau tambah lagi?” aku menatap langit, merenung sejenak. Betul juga.
“Dari pada nambah cerpen yang udah segunung, enakan latihan biar pinter,” ucapnya tersenyum dan berlalu dari hadapanku. Kulangkahkan lagi kakiku, berjalan terus hingga sampai di sekolah. Entah apa yang merasukiku kemarahan itu hilang. Kulangkahkan kakiku ke kelas, hatiku terus bertanya. Fikiranku merenungkan kata itu. Ada benarnya juga, buat apa kubuat naskah jika hanya kusimpan di dalam laci meja? buat apa kuluangkan waktu jika satu pun tak ada yang kukirim untuk lomba ataupun diterbitkan? buat apa aku sush mencari ide? lebih baik kuluangkan dan sempatkan waktu untuk Matematika. Betul juga, tidak ada untung kuluangkan waktu untuk naskah yang sia-sia. Tapi aku terlalu takut untuk memberinya. Aku rasa, aku salah bakat. Kalau kata Hadi dan Fauzan itu.
“Wew… ==” Hafidz beda lagi.
“Cobaan..,” ustadzah Yetti beda lagi.
“Nggak gitulah, pasti bisa. Cuma perasaan aja itu,” Ustadz Pian juga beda.
“Betulah itu, kalaupun salah, coba sajalah, kalau tak bisa lagi, tinggalkan. Kan ada computer.” Wew! ustadz Fendi.. Hmm… Apa ya??
“Nggak gitu juga kali?!” Iih, sombong amat ya? katanya guru terfavor, ter, ter apa laha itu. Hemm..., kayaknya kakak-kakak penulis juga beda deh!
"Ih, nggak boleh gitu, coba lihat prestasinya di menulis?"Heemm… taulah kan? Icha suka ngayal? Ustadz – ustadzah jangan ngambek kalau salah ya? Kakak-kakak penulis, Lativa juga. Ini Cuma angan-anganan Icha, kok. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 31 Januari 2012

Khayal Icha - Tak Ada Untung

                                                  Tak Ada Untung

      “Ustadz kemana? Ini kertas remedialku bagaimana?” aku mulai menyadari, bahwa ustadz Mulyadi sudah tak berada di sekolah. Entah kapan perginya, aku setengah berlari ke arah kantor. Menanyakan pada ustadz dan ustadzah yang ada di sana, tapi mereka tidak tahu. Adzan terdengar, aku semakin cemas. Segera aku berlari ke kelasku, mengambil mukenah dan berlari ke masjid. Semua temanku sudah di masjid, tapi ada beberapa yang masih santai di jalan. Aku tidak tahan, kulangkahkan kakiku cepat menuju masjid. Kuharap ustadz Mulyadi ada di masjid. Waktu cepat sekali berlalu, iqomah terdengar.  Aku melepas sandalku dan berjalan cepat masuk ke masjid.
“Allahu Akbar.” Terdengar suara imam, memulai sholat. Aku kenal suara itu, bukankah itu ustadz Mulyadi? Di dalam masjid, aku memakai mukenahku. Lalu sedikit berjingkat, melihat siapa yang mengimami sholat. Belum terlihat jelas, aku terus berusaha mencari tahu.
“Cha, sholat, nanti masbuk.” Tegur Intan, aku tersadar, dan segera memulai sholatku.
“Assalamu’alaikum warohmatullah.” Sholat usai, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, sambil mengucapkan salam. Berdzikir, sholat rawatib dan mendengarkan pengarahan dari ustadzah. Aku menyikut Intan, yang duduk bersebelahan denganku.
“Pst, Intan, imam tadi siapa?” tanyaku berbisik.
“Ustadz Mulyadi.” Jawabnya mantap, aku tersenyum lega. Akhirnya kutemukan ustadz Mulyadi, selesai pengarahan dari ustadzah. Kami diperbolehkan pulang ke sekolah untuk istirahat dan makan siang. Sebelum pulang, aku menghampiri ustadz, memberikan kertas remedialku.
“Ustadz, masih bisa dikumpulkan dan diambil nilai kan? Ini punya Nisa,” ucapku, sambil memberikan kertas itu. ustadz mengangguk dan tersenyum. Mengambil kertas itu.  setelah itu kembali duduk, bergabung dengan ustadz yang lain. Aku segera melangkahkan kaki ke luar. Aku sudah di tinggal jauh teman-teman. Setengah berlari aku mengejar mereka.
“Hey, tunggu!” seruku, aku mulai lelah berlari. Lativa menoleh, berhenti menungguku. Aku berusaha berjalan cepat. Dengan nafas tersengal, aku terus melangkahkan kaki.
“Huft! Capek!” keluhku begitu sampai di dekat Lativa, aku memegang pundaknya.
“Kenapa juga mau lari,” ucap Lativa asal, membuatku sedikit jengkel. Setelah itu, melanjutkan perjalanan. Lebih pelan dari biasanya, aku masih terlalu lelah.
“Cha, sebenarnya, kamu itu bisa pintar Matematika,” ucap Lativa memulai pembicaraan.
“Gimana bisa? Dah jelas setiap Matematika aku remid, lihat aja latihanku, lima, tiga, lima, enam, tujuh.”
“Bisa, tinggalkanlah sebentar yang berhubungan dengan novel atau apalah namanya itu,” jawaban Lativa membuatku sedikit terkejut.
“Hah! Tiva, mau aku focus ke Matematika aku belum kan bisa mengerti arti dari sejuta angka di buku-buku itu.” ucapku sedikit berteriak.
“Nggak lihat perubahanku? Sementara aku tinggalkan computer dan internetku, hasilnya? Lumayan kan? Delapan koma lima tinggi juga,”
“Hemm.., yah, aku akan coba, tapi serius, bagiku nilai enam saja sudah sangat susah, kau bisa. Mungkin iya kau bisa, karena di rumah kau ada saudaramu yang bisa mengajarkanmu,”
“Kau itu Cuma malas Cha, lawanlah saja,” aku tersenyum mendengar jawaban Lativa, menganggukkan kepala lalu pergi menjauhinya. Kenapa selalu Matematika yang dipertanyakan. Siapa sebenarnya yang menemukan Matematika. Haruskah ada di dunia ini Matematika. Aku menghela nafas panjang, melangkah memasuki lokal. Membuka bekal dan cepat menghabiskannya.
“Nulis lagi, apa asyiknya sih?” aku menoleh, menatap orang yang tadi berkata padaku. Aku menarik nafas dalam, lalu berlalu tanpa perduli pertanyaan dan tatapan heran orang tadi. Lativa. Duduk di teras, menatap langit. Ah, indahnya. Andai aku dapat terbang bebas ke atas sana, melihat pemandangan dari atas. Pasti lebih indah. Bisa melihat lebih luas, aku ingin sekali ke gunung. Ke puncak gunung, memandang keindahan dari atasnya. Sungai yang mengalir tenang, mengikuti lekukan alam itu indah sekali. Fikiranku hanyut terbawa khayalan entah ke mana. Benar-benar tak terasa bel sudah berbunyi, menyadarkan aku dari lamunan. Segera aku berdiri dan memasuki kelas. Ustadzah Martina berjalan masuk, duduk di sudut kelas. Anak kelompok Tahsin ustadzah Martina segera mendekati ustadzah, berlomba menulis dengan cepat. Mengumpulkan buku santri, lalu berkata.
“Ustadzah, saya pertama,” memperebutkan giliran pertama, cukup aneh bagiku. Ketika Tahfidz pastilah mereka akan memindahkan buku santri ke urutan paling bawah. Aku hanya melihat mereka dengan senyum. Menunggu giliran. Beberapa kali mereka curang, memindahkan buku santri ke atas. Hanya untuk giliran. Tapi tak apalah, giliran tak penting. Yang penting itu mengaji. Selesai mengaji, selesai pula kerusuhan itu. sekarang saatnya aku dan teman-teman harus kembali ke masjid. Melaksanakan sholat Ashar. Aku berjalan perlahan, sesekali menyelinap di antara teman dan adik kelas yang sengaja menghadang jalan. Dari belakang, terdengar seseorang berlari. Mengejarku sepertinya. Benar saja, Lativa mengejarku.
“Hey, Cha.” Sapanya, berjalan di sampingku.
“Hay,” ucapku dengan sedikit senyuman. Sambil terus menghitung langkahku.
“Apa yang kukatakan itu benar, lho!” serunya tiba-tiba. Aku berhenti, menghela nafas sejenak. Lalu melanjutkan perjalanan. Lativa terus berjalan mengiringiku, meskipun seringkali aku sengaja berhenti atau meninggalkannya.
“Berusahalah, maka nilai seratus itu akan kau genggam!” serunya, aku tak perduli. Mempercepat langkahku. Lativa mengejarku.
“Angka itu tidak perlu kau pahami,” ucapnya lagi, aku berhenti. Kembali menghela nafas. Menatapnya tajam.
“Kalau keinginanmu kuat, usahamu maksimal, percayalah Cha.” Ucap Lativa hati-hati. Kulangkahkan kembali kakiku. Lativa mengejar, aku berlari dan segera mengambil wudhu. Memakai mukenah dan duduk manis, membacakan kajianku hari ini. Kali ini Lativa diam, tak banyak bicara. Melihatku membaca Al-Qur’an, aku bersyukur. Karena sebentar lagi marahku akan benar meledak. Aku tak suka dipaksa, aku akan melakukan jika aku ingin. Selesai sholat, dengan cepat aku menyalami ustadzah. Berjalan keluar, dengan sebuah buku dan pena di tanganku. Aku menuliskan sesuatu, tak perduli siapa pun yang menabrakku di jalan. Tapi kalau itu motor aku rasa tidak mungkin, aku sudah sangat di pinggir. Lativa kembali menghampiriku. Aku rasa dia akan berceramah kembali, benar saja.
“Cha, ujian di depan mata, ingat, hitungan hari itu tak akan lama. Jika kau sibuk dengan sejuta proyek antologi dan buku-bukumu itu nilaimu akan menurun.” Mendengar itu, aku berhenti. Menatap Lativa tajam.
“Tahu apa kau?!” bentakku.
“Sudahlah jangan sok, aku tak akan pernah mau nilaiku turun,” ucapku lagi.
“Karena itu belajarlah,” balasnya, aku kembali berjalan. Lativa terus di sampingku. Berbicara, dengan sangat hati-hati. Tampaknya dia ingat, satu kata saja yang membuatku marah. Tak akan bisa dia berbicara ataupun curhat padaku berhari-hari.
“Tidak ada proyek antologi, tidak ada buku-buku yang akan kutulis, sudahlah, kau diam saja?!” seruku lagi, Lativa terdiam. Mungkin ia sudah kehabisan akal, bagaimana agar aku menyukai Matematika. Aku melangkah kembali, Lativa terus mengikutikiu. kulangkahkan kaki cepat, lelah sekali aku mendengar MATEMATIKA. Lativa setengah berlari mengejarku. Aku berhenti lagi, menatap Lativa tajam.
“Bisa diam soal MATEMATIKA?!?!!” bentakku, Lativa sedikit terkejut. Ia terdiam mematung di belakangku, kuteruskan langkahku sambil terus menggerutu. Sesekali aku menoleh ke belakang, kelihatannya aku sudah menyakiti hatinya. Tapi karena sifatku yang keras, aku kembali berbalik. Tak perduli dan terus berjalan ke masjid.
“Assalamu’alaikum.” ucapku, begitu kaki kananku melangkah masuk ke dalam. Beberapa temanku menoleh, menjawab salamku lalu kembali membaca Al-Qur’an. Aku memasuki masjid, memakai mukenah. Duduk dan menghafal surah Al-Qiyamah. Ayatnya singkat, tapi entah mengapa begitu susah menghafalnya. Mungkin karena saat ini aku tidak bisa serius, atau keadaan hatiku yang seperti ini. Terdengar salam, aku menjawab dan menoleh. Kulihat Lativa menunduk begitu aku melihatnya. Aku tersenyum puas. Tidak akan ada kata Matematika yang keluar dari mulutnya lagi. Adzan terdengar, aku menutup Al-Qur’an. Mendengar dan menjawab adzan. Setelah itu, melaksanakan sholat qabliyah sebelum Ashar. Dan sholat dipimpin imam.
“Assalamu’alaikum warohmatullah,” ucap imam, setelah sholat selesai. Menoleh ke kiri dan kanan. Setelah selesai sholat, cepat ku berdzikir lalu membuka mukenah. Semuanya rapi, ustadzah mulai memberikan evaluasi sholat kali ini. Memberi nilai lalu mempersilahkan pulang. Aku berjalan perlahan ke luar, memakai sandal lalu berjalan kembali ke sekolah.
“Icha tunggu!” seru seseorang, aku menoleh ke belakang, Lativa. Anak ini memang tak kehabisan akal membujukku. Memang teman yang sejati. Aku berbalik dan kembali berjalan. Lativa mengejarku, memegang pundakku. Aku menoleh, tersenyum dan kembali berjalan.
“Cha, apa benar tak ada proyek antologi dan tak ada cerpen?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk.
“Proyek antologi memang banyak, tapi aku terlalu takut untuk mengeluarkan naskah yang kusimpan di laci meja,” jawabku, Lativa tersenyum.
“Nah, coba kau fikir. Cerpen yang sudah bertumpuk itu mau kau tambah lagi?” aku menatap langit, merenung sejenak. Betul juga.
“Dari pada nambah cerpen yang udah segunung, enakan latihan biar pinter,” ucapnya tersenyum dan berlalu dari hadapanku. Kulangkahkan lagi kakiku, berjalan terus hingga sampai di sekolah. Entah apa yang merasukiku kemarahan itu hilang. Kulangkahkan kakiku ke kelas, hatiku terus bertanya. Fikiranku merenungkan kata itu. Ada benarnya juga, buat apa kubuat naskah jika hanya kusimpan di dalam laci meja? buat apa kuluangkan waktu jika satu pun tak ada yang kukirim untuk lomba ataupun diterbitkan? buat apa aku sush mencari ide? lebih baik kuluangkan dan sempatkan waktu untuk Matematika. Betul juga, tidak ada untung kuluangkan waktu untuk naskah yang sia-sia. Tapi aku terlalu takut untuk memberinya. Aku rasa, aku salah bakat. Kalau kata Hadi dan Fauzan itu.
“Wew… ==” Hafidz beda lagi.
“Cobaan..,” ustadzah Yetti beda lagi.
“Nggak gitulah, pasti bisa. Cuma perasaan aja itu,” Ustadz Pian juga beda.
“Betulah itu, kalaupun salah, coba sajalah, kalau tak bisa lagi, tinggalkan. Kan ada computer.” Wew! ustadz Fendi.. Hmm… Apa ya??
“Nggak gitu juga kali?!” Iih, sombong amat ya? katanya guru terfavor, ter, ter apa laha itu. Hemm..., kayaknya kakak-kakak penulis juga beda deh!
"Ih, nggak boleh gitu, coba lihat prestasinya di menulis?"Heemm… taulah kan? Icha suka ngayal? Ustadz – ustadzah jangan ngambek kalau salah ya? Kakak-kakak penulis, Lativa juga. Ini Cuma angan-anganan Icha, kok. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.

[gigya width="100" height="100" src="http://www.widgipedia.com/widgets/orido/Jam-Garuda-Indonesia-4639-8192_134217728.widget?__install_id=1276566823397&__view=expanded" quality="autohigh" loop="false" wmode="transparent" menu="false" allowScriptAccess="sameDomain" ]