Rabu, 28 Maret 2012

Andai


Andai
            “Sudahlah, berhenti merenung!”Ucap bang Alif.
“Aku yang merenung, apa mengganggumu?” tanyaku, dengan nada yang tak sesemangat biasanya.
“Tentu karena kau masuk dalam lingkup pandangku!” Nada ucapannya meninggi, aku mulai menjauh.
“Berhentilah, jangan kau fikir orang akan hanya memikirkanmu, kasihan gurumu. Terutama guru yang melatihmu.”
“Dia ustadz Pian,”
“Itu yang kumaksud, berhentilah merenung. Dari ceritamu aku tahu gurumu itu mengerti dirimu, tapi kau malah meremehkannya, kau tak menganggapnya. Yang kau tahu hanyalah berfikir merenung, kau yang paling benar!”
“Berhentilah berkata, apa yang kau tahu?”
“Andai kau itu ustadz Pian, andai kau guru yang melatih seorang murid sepertimu, bayangkan betapa susahnya!” itu ucapan terakhirnya, membuatku berfikir sejenak. Dan…,
***
Aku tersenyum membaca pesan dari seorang muridku, tampak ia merasa bahagia. Ia sering bercerita denganku kalau ia ingin sekali memenangkan perlombaan itu, tapi sejak tahun kemarin kekalahannya di lomba itu. Kecewanya sangat mendalam atas kekalahan yang ia hadapi. Dan saat ini, meski aku tak melihatnya. Aku bisa mengetahui bahagianya. Segera kubalas pesan itu.
“Yes!! Ada peluang kita, Cha.”  Segera kukirimkan pesan itu dan kembali melakukan aktivitasku. Aku benar-benar tak sempat mendampingi mereka saat lomba. Hanya bisa kudampingi mereka di pembukaan. Mendengar keluhan-keluhan mereka. Dan menjawab pertanyaan mereka. Sebenarnya aku ingin, tapi tugas yang saat ini kupegang demi sekolah, SDIT Rabbi Radhiyya. Tempatku membagi ilmu.
***
            Hari ini aku ada waktu untuk mendampingi mereka. Meski tak ada lomba TIK, ya, lomba yang telah 2 kali diikuti muridku. Yang hingga tahun kemarin, tetap kalah. Kutatap panggung itu, sebentar lagi lomba akan segera di mulai. Peserta solo song dari SDIT RR juga aku yang membimbing vokalnya. Di sini, di SMPN 01 RSBI. Alumni SDIT banyak melanjutkan sekolah ke sini, mungkin karena sekolah ini sudah terkenal atau memang ini sekolah favorit mereka. Baru sebentar aku melihat sekeliling, seorang alumni menghampiriku dan menyalamiku.
“Ustadz,” sapanya, aku ingat wajahnya. Milati Aulia Hasanah, di SDIT dulu, ia juga cukup terkenal cerdas.
“Ooh, Milati, apa kabar?” Tanyaku.
“Baik ustadz, ngawas lomba apa ustadz?”
“Solo Song sama azan,”
“Ooh, ustadz, anak SDIT RR ada yang masuk enam besar TIK kemarin itu tadz, ”
“Ah, iya? siapa namanya?”
“Annisa Soliha, jadi hari ini di tes yang kedua kali, untuk menentukan pemenang. Ditunggu panitia di lab computer.”  Jelasnya. Aku mengangguk mengerti.
“Ya sudah ustadz, masuk dulu, Assalamu’alaikum.”
“Oh, iya wa’alaikumsalam.” Kuambil ponselku di saku, segera mengirim info pada Icha, tentu lewat sms. Baru saja kukirim pesan itu, Fendi. Salah seorang temanku mengajar di SDIT datang menyapa.
“Eh, ustadz Pian, gimana murid kita?”
“Siap, insyaallah, eh, iya, Icha itu masuk enam besar TIK, jadi hari ini tes lagi.” Infoku.
“Oh, Annisa Soliha ada di mushola, lagi ikut hafalan surat yasiin.” Aku tersenyum, menyalami Fendi. Lalu Segera saja aku melangkahkan kaki ke mushola di SMP itu, sedikit melihat ke dalam. Ada. Terdengar Yetti, seorang temanku juga berkata.
“Nah, itu ustadz Pian,” Icha menoleh, kulihat ia sedang memegang ponselnya. Mungkin baru akan membalas pesanku. Ia segera berdiri, dan keluar.
“Ada apa ustadz?” tanya anak itu, lupa atau pura-pura tidak tahu. Entahlah.
“Udah lombanya? ikut ustadz sebentar ke lab computer, ditunggu sama panitia.” Anak itu mengangguk, mengikutiku dari belakang. Aku sedikit melambat, menyamakan langkahku dengan anak itu. Hemm, tapi mungkin juga anak itu yang berjalan agak cepat. Aku bertanya tentang lomba kemarin, dia menjawab cepat. Dilihatnya Milati di pintu itu, lalu berbalik bertanya padaku.
“Ustadz, rumus excel yang bisa jadi keterangan lulus atau tidak itu bagaimana?”
“Maksudnya? Nanti jadi keterangan misalnya tujuh puluh ke atas lulus gitu?” ia mengangguk. Aku faham maksudnya.
“Ooh, kalau itu seperti ini Cha,” kujelaskan semua pada anak itu, lalu mendekat ke lab computer. Aku segera bertanya pada anak yang ada di sana, termasuk Milati. Ternyata masih sebentar lagi.
“Kalau begitu dia ni ikut lomba dulu,”
“Oh, iya bisa, bisa.” Setelah kuucap terimakasih, lalu mengantarnya ke musola dan kembali mendampingi solo song, juga azan. Sekarang anak itu sedang menunggu giliran, mungkin. Setelah melihat solo song sejenak. Aku kembali ke ruang lomba azan. Mendampingi murid-muridku yang ikut 2 lomba sekaligus. Harapan anak itu memenangkan lomba TIK sangat besar, aku biasa tahu. Sejak ia menginfokan nilainya padaku. Ia terus menyebut ‘Rangking Satu Icha Ustadz, amiin’. Bukan hanya padaku, tapi pada semua guru pendamping. Amiin, dari berbagai orang yang ia anggap sholeh itu pun menambah yakinnya. Aku hanya bisa tersenyum, bangga membayangkan bahagianya memegang piala di sana. Dan yang mengerikan jika ia kalah, mungkin aku akan dimusuhinya seperti tahun dulu. Entah apa sebabnya, anak itu memang aneh. Kuat keinginannya tapi dalam kecewanya. Mungkin, bukan hanya aku yang pusing dibuatnya. Sedang asyik melihat Zia di ruang keterampilan, Fendi datang dan memberitahu kalau 6 besar TIK segera berkumpul, aku kembali melihat ke musola. Bertanya apakah lombanya sudah selesai? ternyata belum, aku kembali memberitahukan. Lalu mendampingi solo song dan azan lagi. Lomba yasiin sudah selesai, kulihat anak itu berjalan keluar. Bersama 2 orang panitia computer kelihatannya, mereka memasuki lab computer.
***
“Sudah Cha, gimana?” tanyaku pada anak itu.
“Soal praktek langsung kan?” Kulanjutkan pertanyaanku. Anak itu mengangguk. Dan banyak lagi yang aku tanyakan padanya saat itu. Sedang berbicara, muncul seorang saudaranya. Anak itu lalu berlalu pergi bersama saudaranya. Mungkin ia berkeliling sekolah ini, aku kembali berjalan mendekati solo song. Lalu sedikit berjalan, aku bertemu anak itu lagi. Kulihat ia menarik tangan saudaranya. Begitu melihatku ia berhenti.
“Mau pulang Cha?” tanyaku.
“Belum ustadz, keliling sebentar lah.” Aku mengangguk lalu kembali berjalan, anak itu pun berlalu bersama saudaranya. Sebentar lagi adzan zhuhur, karena ini hari Jum’at istirahat lebih cepat. Sebelum istirahat, mc di atas panggung mengumumkan beberapa cabang lomba yang sudah didapatkan pemenangnya. Termasuk yasiin dan TIK. Tak kudengar nama anak itu, entah kemana hilangnya. Yang jelas aku sudah tahu apa yang akan anak itu rasakan.Langsung saja kukirimkan pesan singkat melalui ponselku. Dan aku mendapat balasan.
“Belum ustadz, Icha lagi ada di depan gerbang.” Kulangkahkan kaki ke depan. Melihat anak itu sedang duduk di bawah pohon. Tak ada canda kali ini. Yang terdengar dan terlihat olehku jawaban anak itu pada saudaranya anggukkan dan kata ‘IYA’. Aku mendekat, anak itu menoleh. Berusaha untuk tersenyum, lalu kembali memalingkan wajahnya. Aku duduk di sebelah saudaranya, tentu berjarak.
“Icha sudah dengar pengumuman?” tanyaku. Anak itu menoleh, menangguk padaku.
“Bagaimana?”
“Ya, seperti itulah.” jawabnya lesu.
“Yang penting sudah masuk enam besar itu sudah masuk perhitungan,” ucapku.
“Perhitungan apa?” tanyanya.
“Ya, pokoknya itulah. Udah ya,” ia menoleh. Mengangguk. Dan temanku pun merasakan lesunya anak itu. Seperti saat ustadzah Yetti bertanya, saudaranya yang menjawb.
“Icha, gimana TIK?” ia hanya tersenyum, dia sedikit heran.
“Ehm, SD centre juara satu sama juara dua, juara tiganya SD satu.” Barulah ustadzah Yetti mengangguk. Dan, ketika ustadzah Demis bertanya.
“Nisa, gimana?” Ia hanya mengangkat bahu.
“Kalah,” ucap ustadzah Yetti, barulah ustadzah Demis menangguk.
***
            Aku menatap ke depan. Fikiranku kosong, tak tahu harus apa. Saudaraku, Asti menegurku. Aku hanya menoleh.
“Dek, Rioz tadi ngobrol sama ayuk,” Aku mengangguk.
“Anak SDIT menang solat jenazahnya.”
“Iya,” Hah, benar-benar hancur perasaanku saat ini. Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 28 Maret 2012

Andai


Andai
            “Sudahlah, berhenti merenung!”Ucap bang Alif.
“Aku yang merenung, apa mengganggumu?” tanyaku, dengan nada yang tak sesemangat biasanya.
“Tentu karena kau masuk dalam lingkup pandangku!” Nada ucapannya meninggi, aku mulai menjauh.
“Berhentilah, jangan kau fikir orang akan hanya memikirkanmu, kasihan gurumu. Terutama guru yang melatihmu.”
“Dia ustadz Pian,”
“Itu yang kumaksud, berhentilah merenung. Dari ceritamu aku tahu gurumu itu mengerti dirimu, tapi kau malah meremehkannya, kau tak menganggapnya. Yang kau tahu hanyalah berfikir merenung, kau yang paling benar!”
“Berhentilah berkata, apa yang kau tahu?”
“Andai kau itu ustadz Pian, andai kau guru yang melatih seorang murid sepertimu, bayangkan betapa susahnya!” itu ucapan terakhirnya, membuatku berfikir sejenak. Dan…,
***
Aku tersenyum membaca pesan dari seorang muridku, tampak ia merasa bahagia. Ia sering bercerita denganku kalau ia ingin sekali memenangkan perlombaan itu, tapi sejak tahun kemarin kekalahannya di lomba itu. Kecewanya sangat mendalam atas kekalahan yang ia hadapi. Dan saat ini, meski aku tak melihatnya. Aku bisa mengetahui bahagianya. Segera kubalas pesan itu.
“Yes!! Ada peluang kita, Cha.”  Segera kukirimkan pesan itu dan kembali melakukan aktivitasku. Aku benar-benar tak sempat mendampingi mereka saat lomba. Hanya bisa kudampingi mereka di pembukaan. Mendengar keluhan-keluhan mereka. Dan menjawab pertanyaan mereka. Sebenarnya aku ingin, tapi tugas yang saat ini kupegang demi sekolah, SDIT Rabbi Radhiyya. Tempatku membagi ilmu.
***
            Hari ini aku ada waktu untuk mendampingi mereka. Meski tak ada lomba TIK, ya, lomba yang telah 2 kali diikuti muridku. Yang hingga tahun kemarin, tetap kalah. Kutatap panggung itu, sebentar lagi lomba akan segera di mulai. Peserta solo song dari SDIT RR juga aku yang membimbing vokalnya. Di sini, di SMPN 01 RSBI. Alumni SDIT banyak melanjutkan sekolah ke sini, mungkin karena sekolah ini sudah terkenal atau memang ini sekolah favorit mereka. Baru sebentar aku melihat sekeliling, seorang alumni menghampiriku dan menyalamiku.
“Ustadz,” sapanya, aku ingat wajahnya. Milati Aulia Hasanah, di SDIT dulu, ia juga cukup terkenal cerdas.
“Ooh, Milati, apa kabar?” Tanyaku.
“Baik ustadz, ngawas lomba apa ustadz?”
“Solo Song sama azan,”
“Ooh, ustadz, anak SDIT RR ada yang masuk enam besar TIK kemarin itu tadz, ”
“Ah, iya? siapa namanya?”
“Annisa Soliha, jadi hari ini di tes yang kedua kali, untuk menentukan pemenang. Ditunggu panitia di lab computer.”  Jelasnya. Aku mengangguk mengerti.
“Ya sudah ustadz, masuk dulu, Assalamu’alaikum.”
“Oh, iya wa’alaikumsalam.” Kuambil ponselku di saku, segera mengirim info pada Icha, tentu lewat sms. Baru saja kukirim pesan itu, Fendi. Salah seorang temanku mengajar di SDIT datang menyapa.
“Eh, ustadz Pian, gimana murid kita?”
“Siap, insyaallah, eh, iya, Icha itu masuk enam besar TIK, jadi hari ini tes lagi.” Infoku.
“Oh, Annisa Soliha ada di mushola, lagi ikut hafalan surat yasiin.” Aku tersenyum, menyalami Fendi. Lalu Segera saja aku melangkahkan kaki ke mushola di SMP itu, sedikit melihat ke dalam. Ada. Terdengar Yetti, seorang temanku juga berkata.
“Nah, itu ustadz Pian,” Icha menoleh, kulihat ia sedang memegang ponselnya. Mungkin baru akan membalas pesanku. Ia segera berdiri, dan keluar.
“Ada apa ustadz?” tanya anak itu, lupa atau pura-pura tidak tahu. Entahlah.
“Udah lombanya? ikut ustadz sebentar ke lab computer, ditunggu sama panitia.” Anak itu mengangguk, mengikutiku dari belakang. Aku sedikit melambat, menyamakan langkahku dengan anak itu. Hemm, tapi mungkin juga anak itu yang berjalan agak cepat. Aku bertanya tentang lomba kemarin, dia menjawab cepat. Dilihatnya Milati di pintu itu, lalu berbalik bertanya padaku.
“Ustadz, rumus excel yang bisa jadi keterangan lulus atau tidak itu bagaimana?”
“Maksudnya? Nanti jadi keterangan misalnya tujuh puluh ke atas lulus gitu?” ia mengangguk. Aku faham maksudnya.
“Ooh, kalau itu seperti ini Cha,” kujelaskan semua pada anak itu, lalu mendekat ke lab computer. Aku segera bertanya pada anak yang ada di sana, termasuk Milati. Ternyata masih sebentar lagi.
“Kalau begitu dia ni ikut lomba dulu,”
“Oh, iya bisa, bisa.” Setelah kuucap terimakasih, lalu mengantarnya ke musola dan kembali mendampingi solo song, juga azan. Sekarang anak itu sedang menunggu giliran, mungkin. Setelah melihat solo song sejenak. Aku kembali ke ruang lomba azan. Mendampingi murid-muridku yang ikut 2 lomba sekaligus. Harapan anak itu memenangkan lomba TIK sangat besar, aku biasa tahu. Sejak ia menginfokan nilainya padaku. Ia terus menyebut ‘Rangking Satu Icha Ustadz, amiin’. Bukan hanya padaku, tapi pada semua guru pendamping. Amiin, dari berbagai orang yang ia anggap sholeh itu pun menambah yakinnya. Aku hanya bisa tersenyum, bangga membayangkan bahagianya memegang piala di sana. Dan yang mengerikan jika ia kalah, mungkin aku akan dimusuhinya seperti tahun dulu. Entah apa sebabnya, anak itu memang aneh. Kuat keinginannya tapi dalam kecewanya. Mungkin, bukan hanya aku yang pusing dibuatnya. Sedang asyik melihat Zia di ruang keterampilan, Fendi datang dan memberitahu kalau 6 besar TIK segera berkumpul, aku kembali melihat ke musola. Bertanya apakah lombanya sudah selesai? ternyata belum, aku kembali memberitahukan. Lalu mendampingi solo song dan azan lagi. Lomba yasiin sudah selesai, kulihat anak itu berjalan keluar. Bersama 2 orang panitia computer kelihatannya, mereka memasuki lab computer.
***
“Sudah Cha, gimana?” tanyaku pada anak itu.
“Soal praktek langsung kan?” Kulanjutkan pertanyaanku. Anak itu mengangguk. Dan banyak lagi yang aku tanyakan padanya saat itu. Sedang berbicara, muncul seorang saudaranya. Anak itu lalu berlalu pergi bersama saudaranya. Mungkin ia berkeliling sekolah ini, aku kembali berjalan mendekati solo song. Lalu sedikit berjalan, aku bertemu anak itu lagi. Kulihat ia menarik tangan saudaranya. Begitu melihatku ia berhenti.
“Mau pulang Cha?” tanyaku.
“Belum ustadz, keliling sebentar lah.” Aku mengangguk lalu kembali berjalan, anak itu pun berlalu bersama saudaranya. Sebentar lagi adzan zhuhur, karena ini hari Jum’at istirahat lebih cepat. Sebelum istirahat, mc di atas panggung mengumumkan beberapa cabang lomba yang sudah didapatkan pemenangnya. Termasuk yasiin dan TIK. Tak kudengar nama anak itu, entah kemana hilangnya. Yang jelas aku sudah tahu apa yang akan anak itu rasakan.Langsung saja kukirimkan pesan singkat melalui ponselku. Dan aku mendapat balasan.
“Belum ustadz, Icha lagi ada di depan gerbang.” Kulangkahkan kaki ke depan. Melihat anak itu sedang duduk di bawah pohon. Tak ada canda kali ini. Yang terdengar dan terlihat olehku jawaban anak itu pada saudaranya anggukkan dan kata ‘IYA’. Aku mendekat, anak itu menoleh. Berusaha untuk tersenyum, lalu kembali memalingkan wajahnya. Aku duduk di sebelah saudaranya, tentu berjarak.
“Icha sudah dengar pengumuman?” tanyaku. Anak itu menoleh, menangguk padaku.
“Bagaimana?”
“Ya, seperti itulah.” jawabnya lesu.
“Yang penting sudah masuk enam besar itu sudah masuk perhitungan,” ucapku.
“Perhitungan apa?” tanyanya.
“Ya, pokoknya itulah. Udah ya,” ia menoleh. Mengangguk. Dan temanku pun merasakan lesunya anak itu. Seperti saat ustadzah Yetti bertanya, saudaranya yang menjawb.
“Icha, gimana TIK?” ia hanya tersenyum, dia sedikit heran.
“Ehm, SD centre juara satu sama juara dua, juara tiganya SD satu.” Barulah ustadzah Yetti mengangguk. Dan, ketika ustadzah Demis bertanya.
“Nisa, gimana?” Ia hanya mengangkat bahu.
“Kalah,” ucap ustadzah Yetti, barulah ustadzah Demis menangguk.
***
            Aku menatap ke depan. Fikiranku kosong, tak tahu harus apa. Saudaraku, Asti menegurku. Aku hanya menoleh.
“Dek, Rioz tadi ngobrol sama ayuk,” Aku mengangguk.
“Anak SDIT menang solat jenazahnya.”
“Iya,” Hah, benar-benar hancur perasaanku saat ini. Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.

[gigya width="100" height="100" src="http://www.widgipedia.com/widgets/orido/Jam-Garuda-Indonesia-4639-8192_134217728.widget?__install_id=1276566823397&__view=expanded" quality="autohigh" loop="false" wmode="transparent" menu="false" allowScriptAccess="sameDomain" ]