Kamis, 05 April 2012

Happy Brithday to me!


Prinsip hidupku, let’s gone be bye gone untuk masa suram yang telah kulalui dan akan kulalui. Tapi tidak untuk masa indah yang tersimpan rapi di memoriku. Besok adalah hari dimana umurku semakin berkurang, masaku di dunia semakin singkat. Aku ingin membahagiakan ibu, aku harap berhasil. Karena itu, aku agak telat hadir di sekolah.Sudah 4 tahun aku mengenmabn profesiku sebagai guru di sebuah sekolah swasta, gajiku tidak seberapa besar, dan sekali lagi aku berharap semoga yang kulakukan tercatat di buku amalku pada Malaikat Rakib. Amiin.., Setelah apa yang kucari kudapatkan di pasar, aku kembali ke rumah dengan membawa 2 kantong belanjaan. Ibu sedang pergi bersama kembaranku, Fandi. Sedang mendaftar sebagai calon jama’ah haji. Aku membuka tudung di atas meja makan, ada sayur dan lauk sederhana masakan ibu. Tak ada masakan yang lebih istimewa dari itu, aku membuka kantong belanjaan tadi. Tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku segera mengambilnya, ada pesan dari Fifi. Seorang muridku, kelas 6A.
Assalamu’alaikum, ustadz. Hari ini ada pelajaran IPS!” Astaghfirullah, aku terlupa akan tugasku. Aku segera ke kamar, mengganti pakaian dan tancap gas ke sekolah. Begitu sampai, kuparkir motor di tempat biasa dan setengah berlari menuju 6A. Santri 6A bertebaran di luar kelas, tumben. Biasanya mereka membaca buku di kelas. Sembari menungguku, tentunya. Tapi, sekarang mereka aneh. Perlakuan mereka itu menggelitik hatiku untuk mencari tahu. Aku memperlambat jalanku, semakin santai. Tetap saja, tak ada yang perduli. Bahkan ketika mereka melihatku, seakan aku tidak ada. Acuh dengan kedatanganku.
“Rizka.,” Sapaku pada seorang murid 6A. Rizka menoleh ke kiri dan kanan. Seakan mencari sumber suara. Padahal jelas, aku ada di depannya.
“Heey!” Aku memegang bahu Rizka, anak itu menoleh ke arahku.
“Ooh, ustadz.” Ucapnya singkat lalu masuk ke kelas. Aku menggaruk kepalaku, tak gatal. Mengelus dadaku, jalan yang ku pilih ini butuh kesabaran. Kulangkahkan kakiku ke 6A. Biasanya mereka akan segera masuk dan menyambutku. Tapi tidak untuk kali ini, hanya ada 9 orang di dalam. Thania, Rizky, Intan, Rizka, Ainul, Fikri, Fauzan, Aziz dan Ghufron. Mereka hanya sibuk bermain, berdiskusi. Entah apa. Aku bagai bayang yang mengikuti mereka.
“Bel sudah berbunyi ustadz,” ucap Agif begitu masuk ke kelas.
“Kalau mau ngajar kita ya besok lagi!” Nadanya seakan mengusirku, kutatap ia duduk di bangkunya dan membereskan meja yang cukup berantakan itu. Lalu ke belakang, bersama Fauzan, Fikri, Aziz dan Ghufron.
“Eh, Agif kok gitu?” tanyaku, terus menatapnya. Semakin heran.
“Terserah Agif dong tadz, tubuhnya punya Agif kok!” Thania menyambung, aku terkejut. Mengalihkan pandanganku ke Thania.
“Thania!” Ainul memukul bahu Thania, aku tersenyum. Aku tahu kelas ini tak akan ada yang tak menegur jika temannya kelewatan terhadap guru.
“Betul sekali kamu!” Lanjut Ainul tersenyum. Ada apa semua ini? Aku menghela nafas panjang dan keluar. Kulihat jam di tanganku. Masih ada 25 menit lagi, biasanya lebih waktu 5 menit pun mereka melarangku keluar. Entahlah.
***
Waktunya pulang, aku berjalan keluar dari ruang guru dengan perasaan kesal, lelah dan sedih. Kalau aku mau, aku bisa melaorkan perlakuan anak kelas 6A dan mencap mereka sebagai murid kurang ajar. Tapi aku punya hati, untuk memaafkan. Hari ini aku hanya mendapat tugas mengajar di lokal itu dan Tahfidz kelas 6B. Ah, jika aku tahu akan seperti ini. Aku tidak akan buru-buru datang ke sekolah. Lagi-lagi aku mengusap wajahku, berusaha bersabar atas semuanya. Kuhidupkan motor yang selalu menemaniku, lalu mengajaknya kembali pulang ke rumah. Tapi, kuputuskan berjalan-jalan sebentar sore ini. Menenangkan fikiranku.
***
Sampai di rumah, kudapati Fandi membaca buku dan ibu duduk di sofa ruang tamu.
“Dari mana Fen?” tanya ibu, dengan suara yang agak serak. seperti ingin menangis.
“Ngajar bu,” jawabku lembut, menyalami tangan ibu. Ibu mengisyaratkan aku untuk duduk, aku segera duduk.
“Kenapa tidak biasanya pulang lebih sore, apa ada jam tambahan?” tanya ibu lagi.
“Tadi jalan sebentar bu,” jawabku lagi.
“Tadi muridmu datang Fen, dia mau bayarang belanjaanmu tadi,” ucap Fandi, menyudahi bacaannya. Aku menoleh.
“Siapa? Bayaran apa?”
“Kamu beli barang di belakang dengan hutang Fen?” tanya ibu.
“Fendi tidak pernah berhutang bu,” balasku segera, ada apa semua ini? kenapa?
“Tadi ibu yang membayar, dengan tabungan hajinya.” Ucapan Fandi membuat jantungku berdegup tambah kencang.
“Ibu tidak jadi mendaftar haji.” Lanjutnya, hutang apakah aku sehingga menyusahkan ibuku? Dalam sejarah keluargaku aku tidak pernah berhutang, begitu juga yang lain. Ibu berdiri, meninggalkanku. Aku rasa dia kecewa atas tuduhan itu.
“Semua gara-gara kau Fendi!” Fandi berkata di telingaku, nyawaku bagai melayang. Jantungku berhenti berdegup, ucapan itu seakan menggema di telingaku. Terdengar berkali-kali, aku termenung beberapa saat. Mengingat apa tuduhan itu benar?, tak lama, terdengar azan Maghrib. Aku segera beristighfar. Lalu mengambil wudhu di belakang, mengganti baju dan pamit pada ibu.
“Fendi ke masjid bu, Assalamu’alaikum,” ibu tak membalas, aku segera keluar. Berlari menuju masjid, mengejar sholat berjama’ah. Semoga saja aku tidak masbuk.
***
Pagi yang cerah untuk hari indah. Aku membuka mata dan melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Pagi ini, aku mendapat giliran di 6A. Kulihat jam, sudah jam 07.30. Aku pamit pada ibu dan berangkat ke sekolah. Ibu masih tak menjawab, entahlah. Begitu sampai, sekolah masih sepi. Aku segera ke ruang guru, menghidupkan murattal dan menunggu kedatangan murid-muridku. Jam dinding terus memutar jarumnya. Muridku semakin ramai saja, hingga pukul 08.00. Aku membunyikan bel, tanda iftitah akan dimulai. Murid-muridku berhamburan ke lapangan. Dengan semangat aku menyapa mereka.
“Assalamu’alaikum, apa kabar hari ini?”
“Wa’alaikumsalam ustadz, Alhamdulillah, subhanallah, Allahu akbar!!” Jawab mereka semangat, aku mengajak murid-muridku itu bermain. Semua menyambut ceria, kecuali 6A. Mereka sibuk dengan urusan sendiri.
“Ok, do’a masuk rumah,” semua muridku membaca, kecuali 6A. Kupersilahkan mereka masuk ke kelas. Sekarang gantian.
“Kecuali 6A. Boleh masuk kelas.” Tapi, mereka malam berlari ke dalam kelas.
“Eh, belum masuk.” Ucapku berkali-kali. Percuma, kuhela nafas. Dan melangkahkan kaki menaiki tangga yang hanya 4 tingkat itu. Melewati kelas 1A, 2A, 4B, 5B, dan 6B.
“Assalamu’alaikum,” sapaku begitu memasuki kelas, tak ada yang menjawab. Lokal ini bising sekali, terdengar hingga ruang guru yang letaknya agak ke belakang.
“Assalamu’alaikum,” kuulangi salamku, tetap saja. Mereka sudah memancing amarahku. Kuambil sapu yang ada di dekat pintu itu, kupukulkan pada meja. Lokal hening, tak ada yang berkata. Bahkan mereka tak berani menatapku. Sekarang mereka membuatku diserang perasaan bersalah. Air mataku menitis.
“Kalian itu contoh adik-adik, lakukan yang terbaik.” Ucapku, mengusap air mata yang jatuh.
“Jika kalian tak ingin ustadz masuk lokal ini, katakan. Ustadz keluar!” nada ucapanku meninggi, air mataku semakin deras. Apa aku ini? Lemahnya aku di hadapan muridku.
“Ah!” Teriak Rizka memukul meja, aku menoleh. Menatapnya tajam.
“Sabar ustadz,” Fadli menenangkanku.
“Aktingnya terlalu bagus,” lanjutnya menjentikkan jari. Semua tersenyum dan bernyanyi.
“Happy birthday ustadz, Happy birthday ustadz, Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday ustadz.” Dari belakang, Kesuma, Dila, dan Lativa datang membawa kue berbentuk hati, cukup besar.
“Selamat ulang tahun ustadz Fendi, barokallah fi umrika.” Aku tersenyum membaca tulisan di kue itu.
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga!” Aku meniup lilin di atasnya. Tersenyum di antara air mataku yang terus jatuh. Kemarahan dan kesedihan berganti bahagia. Tangisku bukan lagi tangis sesal melainkan haru.
“Kalian ini,” aku mengelus kepala mereka, tersenyum. Mengusap air mataku yang jatuh.
“Jangan menangis ustadz,” Thania dan Rizky datang membawa tisu. Aku menerimanya, tersenyum.
“Uang dari mana?” Tanyaku lembut.
“Sumbangaaan!” Jawab mereka kompak. Kupotong kue itu dan membagikannya pada mereka. Muridku, 6A.
***
Peristiwa tadi menutup kesedihanku, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Bahagia sekali hatiku. Aku ingin berlutut pada ibu dan meminta maaf. Segera kuparkir motor.
“Assalamu’alaikum,” Kuucap salam bersama langkahku masuk. Kubuka pintu cokelat itu, dan. Aaah!! Ada air yang tumah dari atas, membasahi tubuhku.
“Ehm, bukan juga air, adonan kue.” Ucapku, membersihkan.
“Amis banget, bau telor ya?” Tanyaku pada diri sendiri.
“Karena itu hati-hati,” ucap seseorang dari depan, ibu.
“Amis banget kamu Fen,” Fandi menambahkan. Ibu tersenyum. Menenangkan hatiku.
“Selamat ulang tahun ya,” aku mengangguk. Melihat wajah ibu sekali lagi, aku segera berlutut.
“Maafkan Fendi ya bu,” Ibu menarikku, Fandi mengisyaratkanku untuk berdiri.
“Tak ada hutang, yang ada ibu haji tahun 2016.”
“Dan kue!” Ucap Fandi, aku melihat meja itu. Ya, ada kue di atasnya. Kupeluk 2 orang tersayangku itu. Dan kuucapkan terimakasih. Bahagiaku tak terkira hari ini, aku membersihkan badanku. Kembali bersujud pada Rabbku dan Rabb seluruh alam. Sebelum tidur, kutuliskan bahagiaku di selembar kertas.
 Awan menghitam, langit tak bersahabt. Matahari menyembunyikan sinarnya, lilin padamkan cahanya kecilnya.
Kuukir masa suramku di atas pasir, Let’s gone be bye gone. Angin sepoi kembali menerbangkannya. Jauh.., Jauh.., Jauh dari kehidupanku saat ini. Kembali dengan pelangi, kicau burung merdu. Serta rintik hujan yang menenangkan hatiku. Mengukir senyum ceria di hariku.
Langkahku semakin jauh, masaku semakin singkat. Sejarahku semakin bertambah. Kutemui bahagia dan kesedihan di perjalananku, terus hingga saat langkahku berhenti, nafasku tak lagi berputar.
Dan hingga sang maut menjemputku.  Happy birthday to me.

                                                                                                                (Rajab Effendi)

1 komentar:

Kamis, 05 April 2012

Happy Brithday to me!


Prinsip hidupku, let’s gone be bye gone untuk masa suram yang telah kulalui dan akan kulalui. Tapi tidak untuk masa indah yang tersimpan rapi di memoriku. Besok adalah hari dimana umurku semakin berkurang, masaku di dunia semakin singkat. Aku ingin membahagiakan ibu, aku harap berhasil. Karena itu, aku agak telat hadir di sekolah.Sudah 4 tahun aku mengenmabn profesiku sebagai guru di sebuah sekolah swasta, gajiku tidak seberapa besar, dan sekali lagi aku berharap semoga yang kulakukan tercatat di buku amalku pada Malaikat Rakib. Amiin.., Setelah apa yang kucari kudapatkan di pasar, aku kembali ke rumah dengan membawa 2 kantong belanjaan. Ibu sedang pergi bersama kembaranku, Fandi. Sedang mendaftar sebagai calon jama’ah haji. Aku membuka tudung di atas meja makan, ada sayur dan lauk sederhana masakan ibu. Tak ada masakan yang lebih istimewa dari itu, aku membuka kantong belanjaan tadi. Tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku segera mengambilnya, ada pesan dari Fifi. Seorang muridku, kelas 6A.
Assalamu’alaikum, ustadz. Hari ini ada pelajaran IPS!” Astaghfirullah, aku terlupa akan tugasku. Aku segera ke kamar, mengganti pakaian dan tancap gas ke sekolah. Begitu sampai, kuparkir motor di tempat biasa dan setengah berlari menuju 6A. Santri 6A bertebaran di luar kelas, tumben. Biasanya mereka membaca buku di kelas. Sembari menungguku, tentunya. Tapi, sekarang mereka aneh. Perlakuan mereka itu menggelitik hatiku untuk mencari tahu. Aku memperlambat jalanku, semakin santai. Tetap saja, tak ada yang perduli. Bahkan ketika mereka melihatku, seakan aku tidak ada. Acuh dengan kedatanganku.
“Rizka.,” Sapaku pada seorang murid 6A. Rizka menoleh ke kiri dan kanan. Seakan mencari sumber suara. Padahal jelas, aku ada di depannya.
“Heey!” Aku memegang bahu Rizka, anak itu menoleh ke arahku.
“Ooh, ustadz.” Ucapnya singkat lalu masuk ke kelas. Aku menggaruk kepalaku, tak gatal. Mengelus dadaku, jalan yang ku pilih ini butuh kesabaran. Kulangkahkan kakiku ke 6A. Biasanya mereka akan segera masuk dan menyambutku. Tapi tidak untuk kali ini, hanya ada 9 orang di dalam. Thania, Rizky, Intan, Rizka, Ainul, Fikri, Fauzan, Aziz dan Ghufron. Mereka hanya sibuk bermain, berdiskusi. Entah apa. Aku bagai bayang yang mengikuti mereka.
“Bel sudah berbunyi ustadz,” ucap Agif begitu masuk ke kelas.
“Kalau mau ngajar kita ya besok lagi!” Nadanya seakan mengusirku, kutatap ia duduk di bangkunya dan membereskan meja yang cukup berantakan itu. Lalu ke belakang, bersama Fauzan, Fikri, Aziz dan Ghufron.
“Eh, Agif kok gitu?” tanyaku, terus menatapnya. Semakin heran.
“Terserah Agif dong tadz, tubuhnya punya Agif kok!” Thania menyambung, aku terkejut. Mengalihkan pandanganku ke Thania.
“Thania!” Ainul memukul bahu Thania, aku tersenyum. Aku tahu kelas ini tak akan ada yang tak menegur jika temannya kelewatan terhadap guru.
“Betul sekali kamu!” Lanjut Ainul tersenyum. Ada apa semua ini? Aku menghela nafas panjang dan keluar. Kulihat jam di tanganku. Masih ada 25 menit lagi, biasanya lebih waktu 5 menit pun mereka melarangku keluar. Entahlah.
***
Waktunya pulang, aku berjalan keluar dari ruang guru dengan perasaan kesal, lelah dan sedih. Kalau aku mau, aku bisa melaorkan perlakuan anak kelas 6A dan mencap mereka sebagai murid kurang ajar. Tapi aku punya hati, untuk memaafkan. Hari ini aku hanya mendapat tugas mengajar di lokal itu dan Tahfidz kelas 6B. Ah, jika aku tahu akan seperti ini. Aku tidak akan buru-buru datang ke sekolah. Lagi-lagi aku mengusap wajahku, berusaha bersabar atas semuanya. Kuhidupkan motor yang selalu menemaniku, lalu mengajaknya kembali pulang ke rumah. Tapi, kuputuskan berjalan-jalan sebentar sore ini. Menenangkan fikiranku.
***
Sampai di rumah, kudapati Fandi membaca buku dan ibu duduk di sofa ruang tamu.
“Dari mana Fen?” tanya ibu, dengan suara yang agak serak. seperti ingin menangis.
“Ngajar bu,” jawabku lembut, menyalami tangan ibu. Ibu mengisyaratkan aku untuk duduk, aku segera duduk.
“Kenapa tidak biasanya pulang lebih sore, apa ada jam tambahan?” tanya ibu lagi.
“Tadi jalan sebentar bu,” jawabku lagi.
“Tadi muridmu datang Fen, dia mau bayarang belanjaanmu tadi,” ucap Fandi, menyudahi bacaannya. Aku menoleh.
“Siapa? Bayaran apa?”
“Kamu beli barang di belakang dengan hutang Fen?” tanya ibu.
“Fendi tidak pernah berhutang bu,” balasku segera, ada apa semua ini? kenapa?
“Tadi ibu yang membayar, dengan tabungan hajinya.” Ucapan Fandi membuat jantungku berdegup tambah kencang.
“Ibu tidak jadi mendaftar haji.” Lanjutnya, hutang apakah aku sehingga menyusahkan ibuku? Dalam sejarah keluargaku aku tidak pernah berhutang, begitu juga yang lain. Ibu berdiri, meninggalkanku. Aku rasa dia kecewa atas tuduhan itu.
“Semua gara-gara kau Fendi!” Fandi berkata di telingaku, nyawaku bagai melayang. Jantungku berhenti berdegup, ucapan itu seakan menggema di telingaku. Terdengar berkali-kali, aku termenung beberapa saat. Mengingat apa tuduhan itu benar?, tak lama, terdengar azan Maghrib. Aku segera beristighfar. Lalu mengambil wudhu di belakang, mengganti baju dan pamit pada ibu.
“Fendi ke masjid bu, Assalamu’alaikum,” ibu tak membalas, aku segera keluar. Berlari menuju masjid, mengejar sholat berjama’ah. Semoga saja aku tidak masbuk.
***
Pagi yang cerah untuk hari indah. Aku membuka mata dan melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Pagi ini, aku mendapat giliran di 6A. Kulihat jam, sudah jam 07.30. Aku pamit pada ibu dan berangkat ke sekolah. Ibu masih tak menjawab, entahlah. Begitu sampai, sekolah masih sepi. Aku segera ke ruang guru, menghidupkan murattal dan menunggu kedatangan murid-muridku. Jam dinding terus memutar jarumnya. Muridku semakin ramai saja, hingga pukul 08.00. Aku membunyikan bel, tanda iftitah akan dimulai. Murid-muridku berhamburan ke lapangan. Dengan semangat aku menyapa mereka.
“Assalamu’alaikum, apa kabar hari ini?”
“Wa’alaikumsalam ustadz, Alhamdulillah, subhanallah, Allahu akbar!!” Jawab mereka semangat, aku mengajak murid-muridku itu bermain. Semua menyambut ceria, kecuali 6A. Mereka sibuk dengan urusan sendiri.
“Ok, do’a masuk rumah,” semua muridku membaca, kecuali 6A. Kupersilahkan mereka masuk ke kelas. Sekarang gantian.
“Kecuali 6A. Boleh masuk kelas.” Tapi, mereka malam berlari ke dalam kelas.
“Eh, belum masuk.” Ucapku berkali-kali. Percuma, kuhela nafas. Dan melangkahkan kaki menaiki tangga yang hanya 4 tingkat itu. Melewati kelas 1A, 2A, 4B, 5B, dan 6B.
“Assalamu’alaikum,” sapaku begitu memasuki kelas, tak ada yang menjawab. Lokal ini bising sekali, terdengar hingga ruang guru yang letaknya agak ke belakang.
“Assalamu’alaikum,” kuulangi salamku, tetap saja. Mereka sudah memancing amarahku. Kuambil sapu yang ada di dekat pintu itu, kupukulkan pada meja. Lokal hening, tak ada yang berkata. Bahkan mereka tak berani menatapku. Sekarang mereka membuatku diserang perasaan bersalah. Air mataku menitis.
“Kalian itu contoh adik-adik, lakukan yang terbaik.” Ucapku, mengusap air mata yang jatuh.
“Jika kalian tak ingin ustadz masuk lokal ini, katakan. Ustadz keluar!” nada ucapanku meninggi, air mataku semakin deras. Apa aku ini? Lemahnya aku di hadapan muridku.
“Ah!” Teriak Rizka memukul meja, aku menoleh. Menatapnya tajam.
“Sabar ustadz,” Fadli menenangkanku.
“Aktingnya terlalu bagus,” lanjutnya menjentikkan jari. Semua tersenyum dan bernyanyi.
“Happy birthday ustadz, Happy birthday ustadz, Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday ustadz.” Dari belakang, Kesuma, Dila, dan Lativa datang membawa kue berbentuk hati, cukup besar.
“Selamat ulang tahun ustadz Fendi, barokallah fi umrika.” Aku tersenyum membaca tulisan di kue itu.
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga!” Aku meniup lilin di atasnya. Tersenyum di antara air mataku yang terus jatuh. Kemarahan dan kesedihan berganti bahagia. Tangisku bukan lagi tangis sesal melainkan haru.
“Kalian ini,” aku mengelus kepala mereka, tersenyum. Mengusap air mataku yang jatuh.
“Jangan menangis ustadz,” Thania dan Rizky datang membawa tisu. Aku menerimanya, tersenyum.
“Uang dari mana?” Tanyaku lembut.
“Sumbangaaan!” Jawab mereka kompak. Kupotong kue itu dan membagikannya pada mereka. Muridku, 6A.
***
Peristiwa tadi menutup kesedihanku, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Bahagia sekali hatiku. Aku ingin berlutut pada ibu dan meminta maaf. Segera kuparkir motor.
“Assalamu’alaikum,” Kuucap salam bersama langkahku masuk. Kubuka pintu cokelat itu, dan. Aaah!! Ada air yang tumah dari atas, membasahi tubuhku.
“Ehm, bukan juga air, adonan kue.” Ucapku, membersihkan.
“Amis banget, bau telor ya?” Tanyaku pada diri sendiri.
“Karena itu hati-hati,” ucap seseorang dari depan, ibu.
“Amis banget kamu Fen,” Fandi menambahkan. Ibu tersenyum. Menenangkan hatiku.
“Selamat ulang tahun ya,” aku mengangguk. Melihat wajah ibu sekali lagi, aku segera berlutut.
“Maafkan Fendi ya bu,” Ibu menarikku, Fandi mengisyaratkanku untuk berdiri.
“Tak ada hutang, yang ada ibu haji tahun 2016.”
“Dan kue!” Ucap Fandi, aku melihat meja itu. Ya, ada kue di atasnya. Kupeluk 2 orang tersayangku itu. Dan kuucapkan terimakasih. Bahagiaku tak terkira hari ini, aku membersihkan badanku. Kembali bersujud pada Rabbku dan Rabb seluruh alam. Sebelum tidur, kutuliskan bahagiaku di selembar kertas.
 Awan menghitam, langit tak bersahabt. Matahari menyembunyikan sinarnya, lilin padamkan cahanya kecilnya.
Kuukir masa suramku di atas pasir, Let’s gone be bye gone. Angin sepoi kembali menerbangkannya. Jauh.., Jauh.., Jauh dari kehidupanku saat ini. Kembali dengan pelangi, kicau burung merdu. Serta rintik hujan yang menenangkan hatiku. Mengukir senyum ceria di hariku.
Langkahku semakin jauh, masaku semakin singkat. Sejarahku semakin bertambah. Kutemui bahagia dan kesedihan di perjalananku, terus hingga saat langkahku berhenti, nafasku tak lagi berputar.
Dan hingga sang maut menjemputku.  Happy birthday to me.

                                                                                                                (Rajab Effendi)

1 komentar:

.

[gigya width="100" height="100" src="http://www.widgipedia.com/widgets/orido/Jam-Garuda-Indonesia-4639-8192_134217728.widget?__install_id=1276566823397&__view=expanded" quality="autohigh" loop="false" wmode="transparent" menu="false" allowScriptAccess="sameDomain" ]