Senin, 26 September 2011

Akhir Sahabat


            Kejadian yang terjadi dua tahun lalu ini terus kuingat, pada hari dimana itulah hari terakhirmu sobat, hari yang mengingatkanku akan janji Allah, bahwa semua makhluk tanpa terkecuali akan meninggalkan dunia fana ini, ingin aku meraung sejadi-jadinya engkau meninggal tepat di depanku dan surat akhirmu, tubuhmu terjatuh dan terbaring tak berdaya di ruang kelas, lokal ini menjadi tempat terakhirmu di dunia ini. Saat itu kau sedang menulis sebuah surat di atas kertas berwarna hijau muda kesukaanku. Kau asyik dengan tulisanmu, bahkan saat menjawab pertanyaanku kau tak menoleh sedikitpun padaku.
“Ngapain Riz??”
“Surat untukmu, bisa dibaca kalo udah selesai nanti…….”
“Kemana penaku??”
“owh, ini……..” Fariz merogoh kantung tasnya, tapi tak dia temukan, ia mengingat apa yang dia kerjakan tadi lalu berkata.
“Sudah kukembalikan…….”
“Belum Riz, ayolah, berikan padaku itu tanda sahabat kita, itu sangat berarti bagiku……”
“Sudah, tadi Azzam lihat, Tanya saja…..” berkata Fariz dan kebetulan di saat itu Azzam melewati kamu, aku memanggil Azzam.
“Ada apa Man?” ujarnya lembut, sifat ramah dan murah senyum membuatnya terkenal hingga ke ujung sekolah.
“Apa tadi kamu melihat Fariz mengembalikan penaku??”
“Oh, pena yang bertuliskan Fazman itu??”
“Iya, betul itu…..”
“Seingatku sudah, saat Fariz mengembalikan kamu sedang menggambar……..” 
“tapi itu tidak ada…..”
“Ya sudah Man, nanti biar kuganti pena itu…..” Fariz santai, aku curiga apa dia berbohong sudah mengembalikan penaku?
“Tidak, aku tak menginginkan gantinya…….” Belum selesai berbicara datang Hafidz menyalamiku, aku sedikit heran. Ada apa?
“Selamat ulang tahun ya Man, semoga jadi anak cerdas, berbakti dan umurmu berkah…” ujar Hafidz melontar senyumnya. Aku ingat hari ini adalah ulang tahunku, tapi, apa yang diberikan Fariz untukku? Dia sama sekali tak menghargai persahabatan ini, saat dia ulang tahun, aku memberikan sebuah novel yang sudah diidamkannya sejak awal novel itu beredar. Aku rela walau aku harus berjualan Koran dari pulang sekolah hingga sore, terkadang aku merasakan dinginnya hujan, Fariz sahabat yang tak tahu terimakasih, dia hanya berucap selamat? Aku tak percaya ini Fariz?

            “Azman tunggu aku……” Fariz mengejarku
“untuk apa? Bukankah kamu bisa pergi ke kantin bersama Azzam?? Azzam lebih penting dari aku!” Fariz terkejut dengan sikapku, aku setengah berlari ke kantin dia terus mengikutiku.
“Apa?!” seruku sambil berbalik ke belakang, Fariz menatapku
“Azman, jelaskan apa salahku? Masalah hadiah? Hari ini juga akan kuberi Man, apa karena hadiah saja kau berubah secepat itu?” Fariz memelas, sedikit kasihan tapi aku tak memperdulikannya aku duduk di bangku kantin Fariz mengikutiku.
“Kembalikan pena itu, pena itu berarti untukku……” ucapku sambil menunduk
“aku berjanji akan mendapatkannya hari ini juga……” balasnya dia menjulurkan tangannya ingin bersalaman, tak kuhiraukan aku segera pergi ke dalam kelas, aku melihat kekecewaan di wajah Fariz melihat perubahanku, memanfaatkan waktu dia mencari penaku di kelas, aku tak menghiraukannya.
“Terserah kau Fariz!! Kau tak menghargai pemberianku!! Kau menghilangkan pena kesayanganku!!” aku berteriak dalam hati, kekesalan ini bertambah dengan adanya dorongan setan. Sebenarnya ada rasa kasihan dalam hati ini, ingin kubantu Fariz mencari pena itu. Tapi, alangkah malunya aku, apa yang akan dikatakan teman-teman tentangku? Aku tak menghiraukannya mengambil kertas dan mulai mencorat-coret kertas itu. Bel berbunyi, Ustadz Anto memasuki kelas, dengan senyum dia menjawab salam dari kami, pr dikumpulan, ustadz Anto akan memeriksanya sementara kami bebas bermain asalkan tak terlalu ribut, Fariz tetap sibuk mencari pena itu, dia mencari tanpa menghiraukan penggilan dari siapapun kecuali aku dan ustadz, dia tak memperdulikan panggilan sombong padanya. Aku terharu melihat pengorbanan Fariz, titik-titik bening telah memenuhi pelupuk mataku, tapi aku terus berusaha untuk tidak menangis. Tiba-tiba bumi bergoyang, semua segera keluar membawa peralatan belajar mereka, aku menarik Fariz untuk keluar.
“Ayo Fariz! Guncangan ini kuat sekali, nanti kita tertimpa bangunan!” seruku
“tunggu, itu penanya……..!” Fariz berlari mengambil pena kesayangaku itu dan kembali ke tempat duduknya, mengambil surat tadi dan sebuah kotak. Bangunan mulai runtuh jarak bangku Fariz ke pintu cukup jauh, kami segera berlari tapi sebuah bangunan runtuh di belakang Fariz membuat kakiku bergetar dan sangat kaku untuk berjalan. Atap kelas kami akan terjatuh, Fariz mendorongku dan melempar surat, pena dan kotak yang berbungkus kertas kado warna hijau muda, kakiku masih kaku untuk digerakkan, Fariz tertimbun reruntuhan bangunan. Aku terududuk! Fariz telah pergi! Bumi perlahan kembali seperti semula, air mataku tak dapat ditahan, aku menangis sejadi-jadinya.
“Fariiiiz………” bibirku bergetar, Azzam menghampiriku.
“Bukan hanya Fariz yang tertimbun, Hafidz, Ustadz Anto dan Asywa di dalam……” air mata Azzam menetes. Berkali-kali dia mengucapkan Hamdallah bersyukur dia masih diberi nyawa.
“Asta..ghfiru..llah…….” aku terdendat mengucap istighfar, aku tak percaya semua ini! setelah semuanya tenang, aku pulang kerumah membawa pena, surat dan kotak kecil dari Fariz, jenazah Fariz sudah berada di rumah sakit, aku harap dia bahagia. Di jalan, air mataku tak dapat kuhentikan, bagaimana tidak! Fariz menyelamatkanku! Sia juga masih sempat memberi surat dan pena kesayanganku! Aku duduk di teras rumahku, adikku tidak apa-apa aku bersyukur, ummi dan abi sedang pergi ke rumah nenek, yang sudah dipastikan tidak akan terkena guncangan dahsyat itu. Perlahan kubuka kotak kecil itu, di dalamnya terdapat sebuah kotak musik yang melantunkan lagu Snada-Teman sejati, air mataku kembali membanjir setelah membaca surat dari Fariz.
“Azman, sahabat baikku, maafkan aku, hanya ini yang dapat kuberikan padamu, jika kita akan berpisah nanti, kuharap kau tak lupa denganku, tak banyak kebaikan yang kulakukan untukmu, hanya ini yang dapat kulakukan untukmu Man, Jazakumullah khairan katsira atas semua kebaikanmu sobat, di hari ulang tahunmu ini, kuharap kau bahagia untuk selamanya. Walau nanti kita tak dapat bertemu kembali……… salam hangat persahabatan Fariz” 
“Ya Allah, aku tak ingin pena ini, aku ingin sahabatku, ya Allah kembalikan Fariz, ambilah nyawaku, dia terlalu baik tuk disakiti ya Allah, aku belum sempat meminta maaf padanya ya Allah……..” aku berteriak dalam hati, seandainya saja aku mengetahui ini yang akan terjadi, aku akan biarkan pena itu hilang, sungguh baik hati Fariz, dia menghadiahkan nyawanya untukku, berilah dia tempat terbaik di sisimu ya Allah. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senin, 26 September 2011

Akhir Sahabat


            Kejadian yang terjadi dua tahun lalu ini terus kuingat, pada hari dimana itulah hari terakhirmu sobat, hari yang mengingatkanku akan janji Allah, bahwa semua makhluk tanpa terkecuali akan meninggalkan dunia fana ini, ingin aku meraung sejadi-jadinya engkau meninggal tepat di depanku dan surat akhirmu, tubuhmu terjatuh dan terbaring tak berdaya di ruang kelas, lokal ini menjadi tempat terakhirmu di dunia ini. Saat itu kau sedang menulis sebuah surat di atas kertas berwarna hijau muda kesukaanku. Kau asyik dengan tulisanmu, bahkan saat menjawab pertanyaanku kau tak menoleh sedikitpun padaku.
“Ngapain Riz??”
“Surat untukmu, bisa dibaca kalo udah selesai nanti…….”
“Kemana penaku??”
“owh, ini……..” Fariz merogoh kantung tasnya, tapi tak dia temukan, ia mengingat apa yang dia kerjakan tadi lalu berkata.
“Sudah kukembalikan…….”
“Belum Riz, ayolah, berikan padaku itu tanda sahabat kita, itu sangat berarti bagiku……”
“Sudah, tadi Azzam lihat, Tanya saja…..” berkata Fariz dan kebetulan di saat itu Azzam melewati kamu, aku memanggil Azzam.
“Ada apa Man?” ujarnya lembut, sifat ramah dan murah senyum membuatnya terkenal hingga ke ujung sekolah.
“Apa tadi kamu melihat Fariz mengembalikan penaku??”
“Oh, pena yang bertuliskan Fazman itu??”
“Iya, betul itu…..”
“Seingatku sudah, saat Fariz mengembalikan kamu sedang menggambar……..” 
“tapi itu tidak ada…..”
“Ya sudah Man, nanti biar kuganti pena itu…..” Fariz santai, aku curiga apa dia berbohong sudah mengembalikan penaku?
“Tidak, aku tak menginginkan gantinya…….” Belum selesai berbicara datang Hafidz menyalamiku, aku sedikit heran. Ada apa?
“Selamat ulang tahun ya Man, semoga jadi anak cerdas, berbakti dan umurmu berkah…” ujar Hafidz melontar senyumnya. Aku ingat hari ini adalah ulang tahunku, tapi, apa yang diberikan Fariz untukku? Dia sama sekali tak menghargai persahabatan ini, saat dia ulang tahun, aku memberikan sebuah novel yang sudah diidamkannya sejak awal novel itu beredar. Aku rela walau aku harus berjualan Koran dari pulang sekolah hingga sore, terkadang aku merasakan dinginnya hujan, Fariz sahabat yang tak tahu terimakasih, dia hanya berucap selamat? Aku tak percaya ini Fariz?

            “Azman tunggu aku……” Fariz mengejarku
“untuk apa? Bukankah kamu bisa pergi ke kantin bersama Azzam?? Azzam lebih penting dari aku!” Fariz terkejut dengan sikapku, aku setengah berlari ke kantin dia terus mengikutiku.
“Apa?!” seruku sambil berbalik ke belakang, Fariz menatapku
“Azman, jelaskan apa salahku? Masalah hadiah? Hari ini juga akan kuberi Man, apa karena hadiah saja kau berubah secepat itu?” Fariz memelas, sedikit kasihan tapi aku tak memperdulikannya aku duduk di bangku kantin Fariz mengikutiku.
“Kembalikan pena itu, pena itu berarti untukku……” ucapku sambil menunduk
“aku berjanji akan mendapatkannya hari ini juga……” balasnya dia menjulurkan tangannya ingin bersalaman, tak kuhiraukan aku segera pergi ke dalam kelas, aku melihat kekecewaan di wajah Fariz melihat perubahanku, memanfaatkan waktu dia mencari penaku di kelas, aku tak menghiraukannya.
“Terserah kau Fariz!! Kau tak menghargai pemberianku!! Kau menghilangkan pena kesayanganku!!” aku berteriak dalam hati, kekesalan ini bertambah dengan adanya dorongan setan. Sebenarnya ada rasa kasihan dalam hati ini, ingin kubantu Fariz mencari pena itu. Tapi, alangkah malunya aku, apa yang akan dikatakan teman-teman tentangku? Aku tak menghiraukannya mengambil kertas dan mulai mencorat-coret kertas itu. Bel berbunyi, Ustadz Anto memasuki kelas, dengan senyum dia menjawab salam dari kami, pr dikumpulan, ustadz Anto akan memeriksanya sementara kami bebas bermain asalkan tak terlalu ribut, Fariz tetap sibuk mencari pena itu, dia mencari tanpa menghiraukan penggilan dari siapapun kecuali aku dan ustadz, dia tak memperdulikan panggilan sombong padanya. Aku terharu melihat pengorbanan Fariz, titik-titik bening telah memenuhi pelupuk mataku, tapi aku terus berusaha untuk tidak menangis. Tiba-tiba bumi bergoyang, semua segera keluar membawa peralatan belajar mereka, aku menarik Fariz untuk keluar.
“Ayo Fariz! Guncangan ini kuat sekali, nanti kita tertimpa bangunan!” seruku
“tunggu, itu penanya……..!” Fariz berlari mengambil pena kesayangaku itu dan kembali ke tempat duduknya, mengambil surat tadi dan sebuah kotak. Bangunan mulai runtuh jarak bangku Fariz ke pintu cukup jauh, kami segera berlari tapi sebuah bangunan runtuh di belakang Fariz membuat kakiku bergetar dan sangat kaku untuk berjalan. Atap kelas kami akan terjatuh, Fariz mendorongku dan melempar surat, pena dan kotak yang berbungkus kertas kado warna hijau muda, kakiku masih kaku untuk digerakkan, Fariz tertimbun reruntuhan bangunan. Aku terududuk! Fariz telah pergi! Bumi perlahan kembali seperti semula, air mataku tak dapat ditahan, aku menangis sejadi-jadinya.
“Fariiiiz………” bibirku bergetar, Azzam menghampiriku.
“Bukan hanya Fariz yang tertimbun, Hafidz, Ustadz Anto dan Asywa di dalam……” air mata Azzam menetes. Berkali-kali dia mengucapkan Hamdallah bersyukur dia masih diberi nyawa.
“Asta..ghfiru..llah…….” aku terdendat mengucap istighfar, aku tak percaya semua ini! setelah semuanya tenang, aku pulang kerumah membawa pena, surat dan kotak kecil dari Fariz, jenazah Fariz sudah berada di rumah sakit, aku harap dia bahagia. Di jalan, air mataku tak dapat kuhentikan, bagaimana tidak! Fariz menyelamatkanku! Sia juga masih sempat memberi surat dan pena kesayanganku! Aku duduk di teras rumahku, adikku tidak apa-apa aku bersyukur, ummi dan abi sedang pergi ke rumah nenek, yang sudah dipastikan tidak akan terkena guncangan dahsyat itu. Perlahan kubuka kotak kecil itu, di dalamnya terdapat sebuah kotak musik yang melantunkan lagu Snada-Teman sejati, air mataku kembali membanjir setelah membaca surat dari Fariz.
“Azman, sahabat baikku, maafkan aku, hanya ini yang dapat kuberikan padamu, jika kita akan berpisah nanti, kuharap kau tak lupa denganku, tak banyak kebaikan yang kulakukan untukmu, hanya ini yang dapat kulakukan untukmu Man, Jazakumullah khairan katsira atas semua kebaikanmu sobat, di hari ulang tahunmu ini, kuharap kau bahagia untuk selamanya. Walau nanti kita tak dapat bertemu kembali……… salam hangat persahabatan Fariz” 
“Ya Allah, aku tak ingin pena ini, aku ingin sahabatku, ya Allah kembalikan Fariz, ambilah nyawaku, dia terlalu baik tuk disakiti ya Allah, aku belum sempat meminta maaf padanya ya Allah……..” aku berteriak dalam hati, seandainya saja aku mengetahui ini yang akan terjadi, aku akan biarkan pena itu hilang, sungguh baik hati Fariz, dia menghadiahkan nyawanya untukku, berilah dia tempat terbaik di sisimu ya Allah. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.

[gigya width="100" height="100" src="http://www.widgipedia.com/widgets/orido/Jam-Garuda-Indonesia-4639-8192_134217728.widget?__install_id=1276566823397&__view=expanded" quality="autohigh" loop="false" wmode="transparent" menu="false" allowScriptAccess="sameDomain" ]